Kamis, 02 Desember 2010

4 Trik terhindar dari tumit pecah-pecah


http://2kusandal.files.wordpress.com/2010/08/tumit.jpg


Tumit yang kasar, kering dan pecah-pecah seringkali timbul karena penumpukan sel-sel kulit mati yang membuat telapak kaki Anda terlihat kusam dan kotor. Mungkin saat ini belum terlalu terasa saat dipegang tapi sudah cukup jelas tanda-tandanya? Segera lakukan langkah-langkah di bawah bila tidak ingin kaki Anda menjadi versi hidup dari amplas!
1. Sepatu

Belilah dan kenakan sepatu yang pas di kaki Anda! Sepatu yang kekecilan ataupun kebesaran akan membuat kulit kaki tergesek-gesek dan menjadi pecah-pecah.
2. Gonta-ganti

Tidak seperti gonta-ganti pasangan yang bisa membuat Anda rentan terkena penyakit, rajin gonta-ganti alas kaki malah akan membuat kaki Anda lebih segat dan enak dilihat. Menggunakan alas kaki yang sama terus menerus setiap hari akan menyebabkan lapisan kulit kaki Anda pecah-pecah. Siasati dengan menggantinya setiap hari. Bila hari ini Anda ditemani high heels seharian, usahan esoknya ganti dengan flat shoes, demikian seterusnya.
3. Selamat tinggal kerak!

Rajin-rajinlah melakukan pengelupasan kerak pada kulit kaki Anda. Gunakan saja batu apung untuk menggosok kaki di bawah guyuran air shower atau keran. Gosok dengan gerakan berputar, membentuk lingkaran kecil pada kulit kaki, terutama pada tumit. Jika rutin dilakukan, maka kulit kaki akan lebih halus.
4. Lotion sakti
 
      Jangan lupa juga untuk mengoles lotion yang mengandung formula AHA (Alpha Hydroxy Acid) atau  
     petroleum jelly untuk mengeksfoliasi kulit kaki Anda yang sebelumnya telah dihaluskan oleh batu apung. 
     Untuk hasil yang maksimal, tutup dengan kaus kaki setelahnya.


3 Cara Mengatur Mimpi

3 Cara Mengatur Mimpi (Lucid Dream) - Mungkinkah seseorang mengatur mimpi? adakah cara tertentu untuk mengatur mimpi? Jawaban: Anda dapat mengatur mimpi anda sendiri. Berikut 3 Cara Mengatur Mimpi (Lucid Dream) yang sering orang lakukan sebelum tidur.

Kita bisa memprogram atau menentukan sendiri isi mimpi, kita bermimpi dalam keadaan sadar. Mimpi seperti ini lebih dikenal dengan sebutan "Lucid Dreaming" atau "Mimpi Cerah".



Orang Tibet sudah sejak dahulu mempraktekan Lucid Mimpi dalam Yoga mimpi mereka. Di tahun 1867, Marquis d'Hervey de Saint-Denys telah menerbitkan bukunya yang berjudul "Dreams and how to Guide Them" metoda bagaimana kita bisa melakukan lucid mimpi.

Dengan lucid mimpi kita bisa merubah mimpi buruk menjadi mimpi indah, dalam mimpi semuanya bisa terjadi, mimpi tidak ada batasan ruang, waktu maupun kemampuan.

Lucid mimpi bisa digunakan untuk belajar, menyelesaikan problem atau masalah kita. Hal ini banyak dilakukan oleh para ilmuwan maupun seniman. Lucid mimpi bisa juga digunakan untuk terapi.

Langkah-langkah untuk bisa mendapatkan Lucid mimpi agar kita bisa memprogram atau menentukan jalannya mimpi :

Tahap pertama :

Belajar mengingat dan mencatat buku harian dari isi mimpi. Apabila bangun tidur usahakan untuk tetap berbaring beberapa menit lebih lama dan mengingat hal apa saja yang diimpikan. Kemudian dicatat dalam buku harian mimpi Anda.

Tahap kedua :
Sebelum tidur usahakan untuk mengingat hal-hal apa saja yang ingin anda lakukan di dalam mimpi anda. Umpamanya ingin bertemu dengan seseorang, maka sebaiknya sebelum tidur mengingat kembali masa-masa yang indah dengan orang tersebut atau hal lainnya.

Tahap ketiga :
Menggunakan metode Wake-Back-To-Bed (WBTB) atau bangun sejenak dan segera langsung tidur kembali. Pasang jam beker agar Anda bisa bangun tiga jam lebih awal.

Waspadai minuman bernergi

Beberapa tahun terakhir ini, jenis minuman berenergi semakin marak dan berkembang pesat di pasaran. Jenis minuman ini sering diiklankan sebagai minuman bernutrisi, dan beberapa bahkan mengandung vitamin atau ekstrak tumbuh-tumbuhan. Namun tahukah Anda bahwa unsur-unsur yang paling banyak terkandung di dalamnya adalah gula dan kafein. Pakar nutrisi Dee Rollins bersama Universitas Baylor di Texas mengatakan bahwa ia mengkhawatirkan dari 200 minuman berenergi yang beredar bebas di pasaran, beberapa di antaranya mengandung sejumlah kafein di dalamnya dengan kadar yang sangat tinggi. “Beberapa dari minuman berenergi tersebut berisi ratusan miligram kafein per tiap minuman,” katanya.

Namun banyak perusahaan minuman tidak memberitahu jumlah kafein yang terkandung dalam minuman produksinya. Maka, ia mengingatkan, orang-orang yang mengonsumsi minuman tersebut dapat dengan mudah memasukkan unsur pemicu sistem syaraf ke dalam tubuh mereka dalam dosis yang sangat tinggi.
http://www.gamexeon.com/forum/imagehosting/200000/99/99794b347231005d6.jpg

”Sejumlah kecil kafein dapat meningkatkan kesadaran manusia dan mengurangi lemak, membuat kita merasa sedikit lebih baik,” jelas Rollins. “Pada umumnya 250 miligram sehari adalah kadar yang aman untuk dikonsumsi bagi orang Amerika. Kadar 300 miligram seringkali sudah dianggap melebihi batas.”

Beberapa minuman berenergi mengandung lebih dari 200 miligram kafein dalam satu botol. Rollins khawatir bahwa ketika orang-orang menghabiskan seluruh isi botol, mereka tidak menyadari mereka baru saja mengonsumsi kafein yang sudah melebihi batas per harinya. Bayangkan saja secangkir kopi (yang mengandung 80 hingga 120 miligram kafein) saja sudah melebihi batas konsumsi per hari seseorang.

Rollins mengatakan para peneliti telah menemukan, mengonsumsi lebih dari 250 miligram kafein dalam sehari dapat mengarah pada masalah kesehatan, dan gejala-gejala seperti rasa gelisah, sakit kepala, detak jantung yang cepat, dan tekanan darah yang naik. “Semakin sering kita mengonsumsi, semakin banyak gejala yang mungkin akan kita rasakan, berdasarkan faktor genetika seseorang,” jelasnya. “Ada yang mungkin mengalami gejala iritasi usus (mungkin sakit di sekitar perut) atau diare. Apabila minum terlalu banyak, mungkin dapat berakibat pada depresi, susah tidur (insomnia) atau pun sulit berkonsentrasi.”

http://img80.imageshack.us/img80/7302/diabloenergystripstongu.jpg

Terlalu banyak kafein ternyata dapat menimbulkan perubahan pada ritme jantung. Rollins mengatakan bahwa para pakar fisika juga menemukan bahwa kafein dapat memperburuk gejala-gejala pada orang-orang yang memiliki masalah kejiwaan, seperti depresi, gangguan bipoler (bipolar disorder), kegelisahan, dan masalah tidur.

Rollins mengatakan cara menghindari minum terlalu banyak kafein adalah dengan mencari tahu berapa banyak kafein yang terkandung di dalam minuman berenergi, dan mengkonsumsinya dalam batas yang normal.

INILAH PENYEBAB PRIA LELAKI MIMPI BASAH Saat Tidur. Normalkah?



Anak laki-laki yang sudah memasuki masa pubertas, normalnya akan mengalami mimpi basah. Untuk pertama kali, hal ini mungkin terasa aneh, tapi ini adalah hal yang wajar. Mengapa pria mengalami mimpi basah?

Mimpi basah (orgasme spontan) atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan emisi nokturnal, merupakan pengeluaran cairan semen (air mani) di waktu tidur yang biasanya terjadi ketika seorang laki-laki sudah memasuki masa pubertas.

Dilansir dari YoungMensHealthSite, emisi noktural biasanya terjadi karena adanya peningkatan hormon testosteron atau kelebihan cairan semen yang tidak dikeluarkan melalui hubungan seksual dan masturbasi.

Emisi noktural ini terjadi karena adanya tekanan atau stimulasi pada alat kelamin oleh kasur atau seprai, mimpi erotis, kandung kemih penuh atau kenangan dari aktivitas atau pikiran seksual.
http://images.detik.com/content/2010/03/31/227/mansleep.jpg

Mimpi basah ini terjadi pada saat seseorang mengalami tidur dalam atau tidur REM (gerakan mata cepat atau rapid eye movement), yaitu tahap tidur yang mana mimpi terjadi. Yang kemudian laju respirasi dan aktivitas otak meningkat, serta otot-otot menjadi lebih rileks, yang ditandai dengan gerakan bola mata yang cepat.

Pada saat tidur dalam itu, pria biasanya mengalami ereksi sekitar 3-5 kali. Bila ia mengalami stimulasi kelamin atau mimpi erotis, maka dimungkinkan terjadinya ejakulasi atau orgasme saat tidur, atau yang disebut dengan mimpi basah.
http://msnbcmedia4.msn.com/j/MSNBC/Components/Photo/2009/January/090122/g-hlth-090130-sleep-1p.hmedium.jpg

Kebanyakan pria mengalami emisi noktural ketika remaja atau dewasa muda, sekitar usia 20-an dan 30-an tahun. Tapi tak jarang pula pria dewasa tua yang mengalaminya.

Frekuensi emisi noktural bisa sangat bervariasi di antara pria, tergantung pada usia dan status perkawinan. Dilansir dari TimesOnline, remaja usia 15 tahun rata-rata mengalami 0,36 kali seminggu atau sekitar 1-2 kali sebulan. Sedangkan orang yang sudah menikah usia 50 tahun bisa mengalaminya 2 bulan sekali.

Frekuensi ini cenderung berkurang seiring usia. Tapi banyak pria yang terus mengalaminya hingga usia 70-an tahun.

Seorang remaja mungkin memiliki kesulitan mengingat mimpi atau merasa bingung ketika mengalami mimpi basah. Beberapa orang bangun karena merasa risih saat tempat tidurnya basah. Tapi hal ini sepenuhnya normal dan tak perlu malu. detik.com

mimpi, mimpi basah, penyebab mimpi basah, mengapa pria laki-laki suka mimpi basah, info kesehatan

Cara Mengatasi Panas Dalam

Panas dalam yang datang tentu akan sangat mengganggu, terutama saat libur panjang seperti sekarang yang biasanya tak lupa diselingi dengan wisata kuliner yang sangat menggiurkan. Rasa sakit di tenggorokan dan seperti terbakar di dada biasanya dikeluhkan saat menderita panas dalam atau dalam istilah medis disebut misnomer. Penyebab panas dalam biasanya makan terlalu cepat, terlalu banyak daging dikonsumsi, konsumsi coklat, bawang, pepermint, kopi, minuman beralkohol dan juga merokok setelah makan juga bisa jadi pemicunya. Untuk menghindari panas dalam, selain menghindari pemicu-pemicunya, beberapa tips di bawah ini bisa di coba untuk mengatasi panas dalam.

Hindari makan 2-3 jam sebelum tidur.
Jangan terlalu banyak mengkonsumsi daging.
Usahakan berat badan ideal, orang yang memiliki badan gemuk cenderung mengalami panas dalam karena perut bagian atas mendesak melewati diafragma.
Minum segelas susu untuk meredakan gejala panas dalam meskipun tak seefektif antasid.
Gerakkan badan dan usahakan posisi tegak untuk menghindari posisi berbaring dan menekuk badan yang memicu pergerakan sekresi gastik menuju ke atas.
Usahakan kepala lebih tinggi saat tidur jika panas dalam menyerang.
Minum 1-2 sendok teh antasid setiap 1-2 jam untuk menetralisir asam, dengan catatan berkonsultasi pada dokter lebih dahulu terutama bagi penderita penyakit jantung, ginjal dan tekanan darah tinggi.

10 Cara Ampuh Mengatasi Stress

Berikut adalah 10 cara yang sehat untuk mengatasi stress dari hasil survey

1. Accupressure Pijatan-pijatan pada titik tertentu akan membantu Anda menstimulasi titik-titik penyembuhan. Prosedur ini sangat bagus untuk membantu Anda relax dan membantu meringankan kepenatan. Accupressure juga telah terbukti dapat membantu orang-orang untuk tidur lebih nyenyak di malam hari.

2. Olah raga Olah raga sangat efektif untuk membantu mengatasi stress karena berolah raga akan memperlancar peredaran darah dan membuka jantung untuk menerima lebih banyak oksigen. Berolah raga juga akan membantu Anda untuk dapat tidur lebih nyenyak di malam hari. Energi yang dilepaskan pada saat kita berolah raga juga akan menstimulasi tubuh kita untuk memproduksi lebih banyak endorphins yang merupakan hormon yang menyebabkan kita merasa bahagia.

3. Hobby Jika seseorang mengalami stress berat, maka cara yang baik untuk melepaskan stress tersebut adalah dengan menyalurkannya dalam bentuk hobby. Hobby yang melibatkan banyak orang dalam satu grup juga sangat dianjurkan karena hobby ini akan sangat kondusif terhadap kehidupan sosial seseorang.

4. Minum Air Putih Hanya dengan minum satu atau dua gelas air putih akan sangat membantu Anda untuk lebih relax dan dengan cairan tubuh yang cukup, Anda akan terhindar dari kepenatan dan kelelahan yang akan semakin memperburuk keadaan jika Anda stress.

5. Pijat Jika pijat merupakan cara terbaik bagi Anda untuk melepaskan diri dari stress, maka mulailah menyalakan lilin aromatherapy dan lakukan pemijatan selepas Anda bekerja seharian. Pijatan tidak hanya ampuh untuk menenangkan pikiran dan jiwa Anda setelah Anda seharian beraktivitas, tetapi juga dapat membantu untuk meregangkan otot-otot yang penat dan menstimulasi peredaran darah. Bahkan pijatan-pijatan lembut dan ringan dari suami Anda akan membantu Anda untuk tidur lebih baik.

6. Meditasi Para pakar mengatakan bahwa cara paling ampuh untuk mengatasi stress adalah meditasi. Karena meditasi dapat membantu seseorang untuk menjernihkan pikiran dan berkonsentrasi pada ketenangan alam sekitarnya. Telah dibuktikan bahwa meditasi selama 15 menit memberikan istirahat dan ketenangan yang lebih dibandingkan tidur nyenyak selama 1 jam. Tetapi sebenarnya hanya dengan meditasi 1-2 menit setiap hari sudah dapat memberikan efek positif yang luar biasa untuk Anda. Mulailah dengan duduk tegak dan kosongkan pikiran Anda. Meditasi akan membantu kita untuk melupakan pikiran-pikiran dan kekhawatiran yang menyebabkan kita menjadi stress.

7. Makan makanan yang bergiziPada saat kita dalam kondisi stress, makan secara teratur dan makanan yang mengandung karbohidrat rendah akan sangat membantu menjaga keseimbangan gula darah. Makan makanan yang mengandung terlalu banyak karbohidrat bukanlah hal yang baik karena akan meningkatkan kandungan insulin dalam darah yang akan menyebabkan Anda merasa lelah.

8. Sex Jika Anda masih belum tahu, sex merupakan cara efektif untuk menyembuhkan hampir apapun juga, termasuk juga stress!

9. Tidur Kelelahan bukan kondisi yang bagus untuk mengatasi stress. Kondisi kurang tidur akan membuat Anda melihat masalah secara berlebihan dan memperburuk situasi.

10. Terapi Dengan mengunjungi ahli terapi secara teratur akan sangat membantu Anda mengatasi stress.

Sumber : msnbc.msn.com, forbes.com

HISPRUNG

Pengertian Hisprung

Penyakit Hisprung (Hirschprung)  adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus (Ariff Mansjoer, dkk. 2000). Dikenalkan pertama kali oleh Hirschprung tahun 1886. Zuelser dan Wilson , 1948 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis.
Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.


Etiologi Penyakit Hisprung

Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.
Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.

Gejala Penyakit Hisprung
Akibat dari  kelumpuhan  usus besar dalam menjalankan fungsinya, maka tinja tidak dapat keluar. Biasanya bayi baru lahir akan mengeluarkan tinja pertamanya (mekonium) dalam 24 jam pertama. Namun pada bayi yang menderita penyakit Hisprung, tinja akan keluar terlambat atau bahkan tidak dapat keluar sama sekali. Selain itu perut bayi juga akan terlihat menggembung, disertai muntah. Jika dibiarkan lebih lama, berat badan bayi tidak akan bertambah dan akan terjadi gangguan pertumbuhan.

Patofisiologi Penyakit Hisprung

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal.
Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).

Pemeriksaan Tambahan pada Penyakit Hisprung
Pemeriksaan colok dubur  untuk menilai adanya pengenduran otot dubur.
Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah roentgen perut, barium enema, dan biopsi rektum. Roentgen perut bertujuan untuk melihat apakah ada pembesaran/pelebaran usus yang terisi oleh tinja atau gas. Barium enema, yaitu dengan memasukkan suatu cairan zat radioaktif melalui anus, sehingga nantinya dapat terlihat jelas di roentgen sampai sejauh manakah usus besar yang terkena penyakit ini. Biopsi (pengambilan contoh jaringan usus besar dengan jarum) melalui anus dapat menunjukkan secara pasti tidak adanya persarafan pada usus besar. Biopsi ini biasanya dilakukan jika usus besar yang terkena penyakit ini cukup panjang atau pemeriksaan barium enema kurang dapat menggambarkan sejauh mana usus besar yang terkena.

Komplikasi Penyakit Hisprung

Enterokolitis nekrotikans, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi dan septikemia.

Penatalaksanaan klien dengan Hisprung

1.      Konservatif. Pada neonatus dilakukan pemasangan sonde lambung serta pipa rektal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
2.      Tindakan bedah sementara. Kolostomi pada neonatus, terlambat diagnosis, enterokolitis berat dan keadaan umum buruk.
3.      Tindakan bedah defenitif. Mereseksi bagian usus yang aganglionosis dan membuat anastomosis.

CA MAMAE

A. Pengertian
Karsinoma mamma adalah karsinoma yang berasal dari parenkim, stroma, areola dan papilla mamma. (Lab. UPF Bedah RSDS, 1984)

B. Faktor predisposisi
Beberapa factor risiko pada karsinoma mammae dalam kalangan oncologist (Muchlis Ramli, dkk, 2000) di antaranya :
1. Umur > 30 tahun, bertambah besar sampai usia 50 tahun dan setelah menopause
2. tidak kawin/nulipara setelah 35 tahun risikonya 2 kali lebih besar
3. anak pertama lahir serelah usia 35 tahun
4. menarche kurang aari 12 tahun risikonya 1,7-3,4 kali lebih tinggi dari pada wanita dengan menarche yang dating pada suia normal atau lebih dari 12 tahun.
5. menopause dating terlambat lebih dari 55 tahun, risikonya 2,5-5 kali lebih tinggi
6. pernah mengalami infeksi, trauma atau operasi tumor jinak payudara risikonya 3-9 kali lebih besar
7. adanya kanker payudara kontralateral, risikonya 3-9 kali lebih besar
8. pernah mengalami operasi ginekologis-tumor ovarium, riskonya 3-4 kali lebih intggi
9. radiasi dinding dada risikonya 2-3 kali lebih besar
10. riwaya tkeluarga ada yang menderita kanker payudara pada ibu, saudara perempuan ibu, saudara perempuan, adik/kakak, risikonya 2-3 kali lebih tinggi.
11. kontrasepsi oral pada penderita tumor payudara jinak seperti kelainan fibrokistik yang ganas akan meningkatkan risiko untuk mendapat kanker payudara 11 kali lebih tinggi.


C. Gejala klinis
Keluhan penderita kanker payudara (Lab. UPF Bedah RSDS, 1984):
1. Mungkin tidak ada
2. tumor mammae umumny atidak nyeri
3. ulkus/perdarahan dari ulkus
4. erosi putting susu
5. perdarahan.keluar cairan dari putting susu
6. nyeri pada payudara
7. kelainan bentuk payu dara
8. keluhan karena metastase
Gambaran klinis kanker mammae yang khas pada usia 35 tahun/lebih (Lab. UPF Bedah RSDS, 1984) :
1. Tumbuh progresif
2. invasi atau nekrose
a. Batas tak jelas
b. Bentuk tidak teratur
c. Mobilitas terbatas
d. Retraksi kulit/papil
e. Eritem kulit
f. Peaue d’orange g. nodul satelit
h. ulkus
i. tumor melekat dengan “
- kulit
- m. pektoralis
- dinding thoraks

3. Mengadakan metastase
1. Regional
a. pembesaran kel;enjar linfe aksila
b. pembesaran kelenjar limfe mammaria interna
2. Organ jauh

D. Patofisiologi (terlampir)
E. Pemeriksaan

Dasar diagnosis karsinoma mammae :
1. Dasar diagnosis klinis, tumor pada mamae yang tumbuh progtresif dengan tanda-tanda infiltrasi dan atau metastase
2. Dasar diagnostic patologi, tumor dengan tanda-tanda keganasan
Pemeriksaan :
1. pemeriksaan klinis
2. pemeriksaan penunjang klinis
3. pemeriksaan sitologis/patologis
4. Penatalaksanaan
1. Terapi kuratif :
a. Untuk kanker mamma stadium 0,I,II dan III
- Terapi utama adalah mastektomi radikal modifikasi, alternative tomoorektomi + diseksi aksila
- Terapi ajuvan, :
 Radioterapi paska bedah 4000-6000 rads
 Kemoterapi untuk pra menopause dengan CMF (Cyclophosphamide 100 mg/m2 dd po hari ke 1-14, methotrexate 40 mg/m2 IV hari ke -1 siklus diulangi tiap 4 minggu dan flouroracil 600 mg/m2 IV hari ke-1 atau CAP (Cyclophosphamide 500 mg/m2 hari ke 1, adriamycin 50 mg/m2 hari ke-1 dan flouroracil 500 mg/m2 IV hari ke-1 dan 8 untuk 6 siklus.
 Hormon terapi untuk pasca menopause dengan tamoksifen untuk 1-2 tahun
- Terapi bantuan, roboransia,
- Terapi sekunder bila perlu
- Terapi komplikasi pasca bedah misalnya gangguan gerak lengan (fisioterapi)

2. Terapi paliatif
Untuk kanker mamma stadium III B dan Iv :
a. Terapi utama
- pramenopause, bilateral ovariedektomi
- pasca menopause ; 1) hormone resptor positif (takmosifen) dan 2) hormone resptor negative (kemoterapu dengan CMF atau CAF)
b. Terapi ajuvan
- operable (mastektomi simple)
- inoperable (radioterapi)
kanker mamae inoperative :
 tumor melekat pada dinding thoraks
 odema lengan
 nodul satelit yang luas
 mastitis karsionamtosa
c. Terapi bantuan ; roboransia
d. Terapi komplikasi , bila ada :
- patah, reposisi-fiksasi-imobilisasi dan radioterapi pada tempat patah
- odema lengan : 1) deuretik, 2) pneumatic sleeve, 3) operasi tranposisi omentum atau kondoleon,
- Efusion pleura, 1) aspirasi cairan atau drainase bullae, 2) bleomisin 30 mg dan teramisin 1000 mg, intra pleura
- Hiperkalsemia : 1) deuretika dan rehidrasi, 2) kortikosteroid, 3) mitramisin ¼-1/2 mg/kg BB IV
- NYeri, terapi nyeri sesuai WHO
- Borok,perawatan borok
e. Terapi sekunder, bila ada

F. Prognosis
Tujuan akhir dari suatu program ini buka saja memperbaiki kethan hidup , tetpi juga perbaikan penyembuhan sebab kanker yang diobatik pada stasium dini dengan sendirinya menaikkan angka survival biarpun penyembuhannya belum tentu tercapai.

ATELEKTASIS

A. Definisi
Atelektasis (Atelectasis)adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

Sindroma Lobus Medialis
Sindroma lobus medialis merupakan atelektasis jangka panjang, dimana lobus media (tengah) dari paru-paru kanan mengkerut. Penyebabnya biasanya adalah penekanan bronkus oleh suatu tumor atau pembesaran kelenjar getah bening.
Paru-paru yang tersumbat dan mengkerut, dapat berkembang menjadi pneumonia yang tidak dapat sembuh total dan peradangan kronis, jaringan parut dan bronkiektasis.

Atelektasis Percepatan
Atlektasis percepatan biasanya terjadi pada pilot pesawat tempur.
Penerbangan dengan kecepatan tinggi akan menutup saluran pernafasan yang kecil, menyebabkan alveoli (kantong udara kecil di paru-paru) menciut.

Mikroatelektasis Tersebar Atau Terlokalisasi
Pada keadaan ini, sistem surfaktan paru-paru terganggu.
Surfaktan adalah zat yang melapisi alveoli dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan, sehingga mencegah pengkerutan.
Bila bayi prematur kekurangan surfaktan, mereka akan mengalami sindroma gawat pernafasan.
Orang dewasa juga bisa mengalami mikroatelektsis karena:
  • terapi oksigen yang berlebihan
  • infeksi berat dan luas (sepsis)
  • faktor lainnya yang merusak lapisan alveoli.
B. Penyebab
Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Bronkus adalah 2 cabang utama dari trakea yang langsung menuju ke paru-paru.

Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil.
Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah bening.

Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat.
Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir dan kemudian akan mengalami infeksi.

Faktor resiko terjadinya atelektasis:
  • Pembiusan (anestesia)/pembedahan
  • Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posisi
  • Pernafasan dangkal
  • Penyakit paru-paru.
C. Gejala
Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang ringan. Penderita sindroma lobus medialis mungkin tidak mengalami gejala sama sekali, walaupun banyak yang menderita batuk-batuk pendek. Gejalanya bisa berupa:
  • gangguan pernafasan
  • nyeri dada
  • batuk.
Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung, kadang-kadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah).

D. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Rontgen dada akan menunjukkan adanya daerah bebas udara di paru-paru. Untuk menentukan penyebab terjadinya penyumbatan mungkin perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau bronkoskopi serat optik.

E. Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena.

Tindakan yang biasa dilakukan:
  • Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena kembali bisa mengembang
  • Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif)
  • Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak
  • Postural drainase
  • Antibiotik diberikan untuk semua infeksi
  • Pengobatan tumor atau keadaan lainnya.
  • Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena mungkin perlu diangkat
Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya.

F. Pencegahan
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya atelektasis:
Setelah menjalani pembedahan, penderita harus didorong untuk bernafas dalam, batuk teratur dan kembali melakukan aktivitas secepat mungkin.
Meskipun perokok memiliki resiko lebih besar, tetapi resiko ini bisa diturunkan dengan berhenti merokok dalam 6-8 minggu sebelum pembedahan.
Seseorang dengan kelainan dada atau keadaan neurologis yang menyebabkan pernafasan dangkal dalam jangka lama, mungkin akan lebih baik bila menggunakan alat bantu mekanis untuk membantu pernafasannya. Mesin ini akan menghasilkan tekanan terus menerus ke paru-paru sehingga meskipun pada akhir dari suatu pernafasan, saluran pernafasan tidak dapat menciut.

HEMATOTHORAX

PENGERTIAN
Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura . Sumber mungkin darah dinding dada , parenkim paru – paru , jantung atau pembuluh darah besar . kondisi diasanya merupakan konsekuensi dari trauma tumpul atau tajam . Ini juga mungkin merupakan komplikasi dari beberapa penyakit .( Puponegoro , 1995 ) .
.
2.2 ETIOLOGI
2.2.1 Traumatis
  • Trauma tumpul .
  • Penetrasi trauma .
2.2.2 Non traumatic atau spontan
  • Neoplasia ( primer atau metastasis ) .
  • Diskrasia darah , termasuk komplikasi antikoagulasi .
  • Emboli paru dengan infark .
  • Robek pleura adhesi berkaitan dengan pneumotorax spontan .
  • Emfisema .
  • Tuberkulosis .
  • Paru arteriovenosa fistula .
2.3 PATOFISIOLOGI
Perdarahan ke dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan  dari jaringan dinding dada dan pleura atau struktur intratoracic yang fisiologis terhadap pengembangan hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama hemodinamik dan pernapasan . Tingkat respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah .
Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh ruang efek menduduki akumulasi besar darah dalam rongga pleura . Dalam kasus trauma , kelainan ventilasi dan oksigen dapat mengakibatkan , terutama jika dikaitkan dengan cedera pada dinding dada . Dalam beberapa kasus nontraumatic asal usul , terutama yang berkaitan dengan pneumotorax dan jumlah terbatas perdarahan , gejala pernapasan dapat mendominasi .
Pohon Masalah
Trauma pada thorax



Perdarahan pada rongga pleura . hingga tahanan perifer darah paru meningkat
Cedera jaringan lunak/hilangnya kontinuitas structur tulang
Reabsorbsi darah oleh pleura tidak memadai / tidak optimal
Nyeri , adanya luka pasca trauma , pergeseran fragmen paru
Nyeri kerusakan intregitas jaringan , resiko tinggi infeksi
Akumulasi darah dikantong pleura
G3 ventilasi , pengembangan paru tidak optimal , g3 difusi . distribusi dan transportasi oksigen

Edema trakea/faringeal peningkatan produksi secret dan penurunan kemampuan batuk efektif
Ketidak efektifan jalan napas Terpasang WSD




Ketidak efektifan jalan napas
  • nyeri
    • perubahan pemenuhan nutrisi < dr kebutuhan
    • g3 mobilitas fisik
    • g3 pemenuhan ADL
    • cemas
    • ketidaktahuan/penurunan
Keluhan sistemik,mual,intake nutrisi tidak adekuat,malaise,kelemahan dan keletihan fisik,kecemasan,serta ketidaktahuan akan prognosis





2.4 MANIFESTASI KLINIS
2.4.1 Blunt trauma – hematothorax dengan dinding dada cedera tumpul .
2.4.1.1 Jarang hematothorax sendirian menemukan dalam trauma tumpul . Associated dinding dada atau cedera paru hampir selalu hadir .
2.4.1.2 Cedera tulang sederhana terdiri dari satu atau beberapa patah tulang rusak adalah yang paling umum dada cedera tumpul . Hematothorax kecil dapat berhubungan dengan bahkan satu patah tulang rusuk tetapi sering tetap diperhatikan selama pemeriksaan fisik dan bahkan setelah dada radiography . Koleksi kecil seperti jarang membutuhkan pengobatan .
2.4.1.3 Kompleks dinding dada cedera adalah mereka yang baik 4 / lebih secara berurutan satu patah tulang rusuk hadir atau memukul dada ada . Jenis cedera ini terkait dengan tingkat signifikan kerusakan dinding dada dan sering menghasilkan koleksi besar darah dalam rongga pleura dan gangguan pernapasan substansial . Paru memar dan pneumotorax yang umumnya terkait cedera . Mengakibatkan luka – luka lecet dari internal interkostal / arteri mamae dapat menghasilkan ukuran hematothorax signifikan dan hemodinamik signifikan kompromi . Kapal ini adalah yang paling umum perdarahan terus menerus sumber dari dada setelah trauma .
2.4.1.4 Delayed hematothorax can accur at some interval after blunt chest trauma . Dalam kasus tersebut evaluasi awal , termasuk dada radiography  , mengngkapkan temuan dari patah tulang rusuk yang menyertainya tanpa intrathoracic patologi , Namun jam untuk hari kemudian , seorang hematothorax terlihat . Mekanisme diyakini baik pecah terkait trauma dinding dada hematom ke dalam rongga pleura / perpindahan dari tulang rusuk patah ujungnya dengan interkostalis akhirnya gangguan terhadap kapal – kapal selama gerakan pernapasan atau batuk .
2.4.2 Intrathoracic cedera tumpul
2.4.2.1 Hematothorax besar biasanya berhubungan struktur vaskular cedera . Gangguan atau robekan besar struktur arteri / vena di dalam dada dapat menyebebkan perdarahan masif / exsanguinating .
2.4.2.2 Hemodinamik menifestasi terkait dengan hematothorax besar adalah mereka dari hemorrhagic shock . Gejala – gejala dapat berkisar dari ringan sampai mendalam , tergantung pada jumlah dan laju perdarahan ke dalam rongga dada dari sifat dan tingkat keparahan cedera terkait .
2.4.2.3 Karena koleksi besar darah akan menekan paru – paru ipsilateral , pernapasan terkait termasuk manifestasi tachypnea dan dlam beberapa kasus hypoxemia .
2.4.2.4 Berbagai temuan fisik seperti memar , rasa sakit , ketidakstabilan / krepitus pada palpasi atas rusuk retak , cacat dinding dada / gerakan dinding dada paradoksal dapat mengakibatkan kemungkinan hematothorax bersamaan dalam kasus cedera tumpul dinding dada . Ketumpulan pada perkusi diatas bagian yang terkena sering hemotorax dicatat dan lebih sering ditemukan selama lebih tergantung daerah torax jika pasien tegak . Berkurang / tidak hadir pada auskultasi bunyi napas dicatat di atas wilayah hemotothorax .
2.4.3 Trauma tembus
2.4.3.1 Hematothorax dari cedera penetrasi paling sering disebabkan oleh lecet langsung dari pembuluh darah . Sementara arteri dinding dada paling sering , sumber menembus hematothorax cedera , intrathoracic struktur  , termasuk jantung , juga harus dipertimbangkan .
2.4.3.2 Parenkim paru cedera sangat umum dalam kasus – kasus cedera menembus dan biasanya menghasilkan kombinasi hematothorax dan pneumothorax .

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.5.1 Laboratorium studi
  • Hematokrit dari cairan pleura
    • Pengukuran hematokrit hampir tidak pernah diperlakukan pada pasien dengan hematothorax traumatis .
    • Studi ini mungkin diperlakukan untuk analisis berdarah nontraumatik efusi dari penyebabnya . Dalam khusus tersebut , sebuah efusi pleura dengan hematokrit lebih dari 50 % dari yang hematokrit beredar deanggap sebagai hematothorax .
2.5.2 Imaging studi
  • Chest radiography
  • Dada yang tegak sinar rongent adalah ideal studi diagnostik utama dalam evaluasi hematothorax .
  • Dalam unscarred normal rongga pleura yang hemothtorax dicatat sebagai meniskus cairan menumpulkan costophiremic diafragmatik sudut atau permukaan dan pelacakan atas margin pleura dinding dada ketika dilihat pada dada tegak film sinar – x . Hal ini pada dasarnya sama penampilan radiography dada yang ditemukan dengan efusi pleura .
  • Dalam kasus – kasus dimana jaringan atau sisfisis pleura hadir , koleksi tidak dapat bebas untuk menempati posisi yang paling tergantung didalam dada tapi menempati posisi yang paling tergantung didalam dada , tapi akan mengisi ruang pleura bebas apapun tersedia . Situasi ini mungkin membuat penampilan klasik lapisan pluida pada dada x – ray film .
  • Sebanyak 400 – 500 ml darah diperlukan untuk melenyapkan costapherenic sudut seperti terlihat pada dada tegak sinar rongent .
  • Dalam pengaturan trauma akut , telentang portabel dada sinar rongent mungkin menjadi yang pertama dan satu – satunya pandangan tersedia dari yang untuk membuat keputusan mengenai terapi definitif , kehadiran dn ukuran hematothorax jauh lebih sulit untuk mengevaluasi pada film terlentang . sebanyak 1000 ml darah mungkin akan terjawab saat melihat dada terlentang portabel x – ray film . Hanya kekaburan umum yang terkena bencana hematothorax dapat dicatat .
  • Dalam kasus trauma hematothorax sering dikaitkan dengan dada lainnya , luka – luka terlihat di dada sinar rongent , seperti patah tulang iga , pneumotorax , atau pelebaran mediatinum superior .
  • Studi – studi tambahan seperti USG atau CT scan mungkin kadang – kadang diperlukan untuk identitas dan kualifikasi dari hematothorax dicatat disebuah dataran sinar rongent .
  • Ultrasonography
  • Ultrasonography USG digunakan dibeberapa pusat trauma dalam evaluasi awal pasien untuk hematothorax .
  • Salah satu kekurangan dari USG untuk identifikasi traumatis terkait hematothorax adalah bahwa luka – luka segera terlihat pada radiography dada pada pasien trauma , seperti cedera tulang , melebar mediastinum dan pneumothorax , tidak mudah diidentifikasi di dada Ultrasonograp gambar .
  • Ultrasonography lebih mungkin memainkan peran yang saling melengkapi dalam kasus – kasus tertentu dimana x –ray dada temuan hematothorax yang samar – samar .
    • CT
    • CT scan sangat akurat studi diagnostik cairan pleura / darah .
    • Dalam pengaturan trauma tidak memegang peran utama dalam diagnostik hematothorax tetapi melengkapi dada radiography . Karena banyak korban trauma tumpul melakukan rongrnt dada dan / CT scan perut evaluasi, tidak dianggap hematothorax didasarkan pada radiography dada awal dapat diidentifikasi dan diobati .
    • Saat ini CT scan adalah nilai terbesar kemudian dalam perjalanan trauma dada pasien untuk lokalisasi dan klasifikasi dari setiap koleksi mempertahankan gumpalan dalam rongga pleura .
2.6 PERAWATAN
  • Prehospital care in patients with hemothorax Perawatan pra-rumah sakit pada pasien dengan hemothorax
  • Assess airway, breathing, and circulation. Menilai Airway, pernapasan, dan sirkulasi. Evaluate for the possibility of tension pneumothorax. Evaluasi untuk kemungkinan ketegangan pneumotoraks. Assess vital signs and pulse oximetry. Menilai tanda-tanda vital dan denyut nadi oksimetri. Administer oxygen and establish an intravenous line. Administer oksigen dan membentuk garis intravena.
  • Dekompresi jarum dari pneumotoraks ketegangan mungkin diperlukan.
  • Perawatan awal diarahkan untuk cardiopulmonary stabilisasi dan evakuasi dari koleksi darah pleura.
  • Jika pasien hypotensive, membangun besar-garis intravena membosankan. Commence appropriate fluid resuscitation with blood transfusion as necessary. Resusitasi cairan dimulai sesuai dengan transfusi darah diperlukan.
  • Untuk evakuasi, tempat-besar membosankan tabung torakotomi costophrenic diarahkan ke sudut.
  • Jika dada tabung konvensional tidak mengeluarkan koleksi darah, langkah-langkah lebih lanjut mungkin diperlukan. Conventional treatment involves placement of a second thoracostomy tube. Pengobatan konvensional melibatkan penempatan thoracostomy kedua tabung. However, in many patients, this therapy is ineffective, necessitating further intervention. Namun, pada banyak pasien, terapi ini tidak efektif, sehingga perlu intervensi lebih lanjut.
  • Video-dibantu thoracoscopy (tong) adalah pengobatan alternatif yang memungkinkan pemindahan langsung dan tepat gumpalan dada penempatan tabung. VATS is associated with fewer postoperative complications and shorter hospital stays compared with thoracostomy. Tong-tong dikaitkan dengan komplikasi pascabedah lebih sedikit dan lebih pendek dibandingkan dengan rumah sakit tetap thoracostomy .
  • Emergency department care Perawatan gawat darurat
    • The patient should be sitting upright unless other injuries contraindicate this position. Pasien harus duduk tegak kecuali luka lain contraindicate posisi ini. Administer oxygen and reassess airway, breathing, and circulation. Administer oksigen dan menilai kembali jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.
    • Mendapatkan sinar rentgen dada tegak secepat mungkin.
    • Jika pasien hemodynamically tidak stabil, segera memulai resusitasi cairan (misalnya, 20 mL / kg Ringer lactated solusi).
    • The need for a chest tube in an asymptomatic patient is unclear, but if the patient has any respiratory distress, direct the large-bore chest tube toward the costophrenic angle as the chest radiograph indicates. Kebutuhan tabung di dada pasien yang asimtomatik tidak jelas, tetapi jika pasien mempunyai gangguan pernapasan, langsung besar-dada menanggung tabung menuju sudut costophrenic sebagai sinar rentgen menunjukkan dada.
    • Inovasi terbaru perawatan intrapleural fibrinolytic traumatis bergumpal hemothorax. Either 250,000 units of streptokinase or 100,000 units of urokinase was instilled daily into intrapleural space on 2-15 occasions. Entah streptokinase 250.000 unit atau 100.000 unit urokinase itu ditanamkan intrapleural harian ke ruang pada 2-15 kali. The overall success rate was 92%. 25 Tingkat keberhasilan secara keseluruhan adalah 92%.
    • Akhirnya, jika fibrothorax berkembang meskipun terapi modalitas yang telah disebutkan sebelumnya, suatu prosedur decortication mungkin diperlukan untuk memungkinkan ekspansi paru dan mengurangi risiko empiema.

MEDIASTINITIS

Deskripsi
Mediastinitis adalah kondisi yang mengancam hidup dengan tingkat kematian sangat tinggi jika ditangani terlambat atau diperlakukan tidak benar. Area ini berisi jantung, pembuluh darah besar, batang tenggorok (trakea), kerongkongan, kelenjar timus, kelenjar getah bening, dan jaringan. Meskipun diakui sebagai komplikasi penyakit infeksi tertentu, sebagian besar kasus mediastinitis berhubungan dengan operasi jantung.

Gejala
Gejala umum pada penderita antara lain nyeri dada, menggigil, batuk darah, demam, malaise, sesak napas.

Perawatan
Penderita mungkin menerima antibiotik jika terjadi infeksi. Penderita juga dimungkinkan untuk dilakukan pembedahan untuk menghilangkan daerah peradangan jika pembuluh darah, tenggorokan, atau kerongkongan tersumbat.

EMPIEMA

DEFINISI
Empiema adalah adanya eksudat purulent dalam cavum pelura. Pus dalam rongga pleura yang disebabkan oleh infeksi seperti pneumonia atau abses paru-paru terjadi setelah operasi atau akibat luka tusuk dada.
Empiema terdiri dari tiga bentuk, yaitu: empiema torakal, empiema tuberkulosis, empiema pneumoni.

ETIOLOGI
Empiema disebabkan oleh:
 Pneumonia,
 Abses paru-paru,
 Bronkiektasis,
 Infeksi intraabdominal,
 Atau langsung dari pengotoran pleura,
 Tuberkulosis,
 Jamur aktinomikosis,
 Emboli metastasis dari fokus jauh,
 Karsinoma bronkogenik,
 Osteomielitis,
 Trauma tembus.

FASE-FASE PADA EMPIEMA
1. Fase eksudatif terjadi sebagai reaksi terhadap inflamasi atau infeksi, dan ini ditandai dengan efusi pleura eksudatif.
2. Fase fibrinopurulen ditandai khas dengan adanya nanah intrapelural dan deposisi fibrin pada permukaan pleura. Cairan akan lebih kental dan cenderung mengadakan lukolasi. Paru-paru-paru-paru menjadi terfixer.
3. Fase organisasi ditandai khas dengan perlekatan paru-paru dan terjadinya paru-paru-paru-paru reskriktif karena terbentuknya jaringan fibroblastik. Sequelae yang sering terjadi adalah fistula bronchopleural atau pleurocutancus.

GEJALA KLINIS
Karena penyakit ini merupakan komplikasi, maka terdapat gejala dari penyakit primernya disertai rasa nyeri dada, batuk dan tanda-tanda tosik seperti keluarnya dahak. Pada torakosintesis: keluar pus, dengan pembiakan dan tes resistensi dapat diketahui penyebabnya dan terapi yang sesuai.

PENGOBATAN
˜ Tergantung penyebab. Bila karena cocus, berikan penisilin, streptomisin, sefalotin atau kanamisin. Bila telah ada hasil kultur, beri antibiotik yang sesuai. Bila karena tuberkulosis beri obat-obat tuberkulosis.
˜ Cara konservatif,
Aspirasi dengan jarum berulang-berulang. Keluarkan sebanyak-banyaknya, kemudian cuci rongga pleura dengan larutan garam fisiologis. Misalnya dapat dikeluarkan cairan 400 cc, masukkan larutan garam fisiologis sebanyak 200 cc, keluarkan lagi, masukkan lagi larutan garam fisiologis 100 cc dan seterusnya.
˜ Aspirasi terus-menerus secara menutup (water sealed draibage).
Bila cairan tidak keluar lagi, penderita harus mengejan atau dikeluarkan dengan pompa. Boleh dilakukan pencucian setiap hari dengan larutan garam fisiologis atau ditambahkan obat-obatan (Lugol dan Jodonasin 2%). Setelah itu masukan obat, misalnya larutan penicillin dalam aqua sampai 1 juta unit.
Kadang-kadang cairan empiema ini sangat kental sehingga perlu dihancurkan terlebih dahulu dengan obat-obat mukolitik seperti:
- streptokinase + streptodormase. Masukan ke cavum pleura selama 12 jam, kemudian lakukan lagi.
- Bisolvon.
- Danzen.
Aspirasi boleh dilakukan selama 2-3 minggu. Bila cairan tidak mungkin berkurang perlu tindakan bedah yaitu reseksi iga. Iga dipotong 2-3 cm, supaya bisa dimasukkan drain yang lebih besar dan lanjutkan dengan WSD.
Bila setelah 6-8 minggu tidak ada perbaikan, perlu diadakan operasi torakotomi dan dekortikasi (mengangkat pleura dan kemudian jaringan paru-paru dilekatkan pad dinding toraks). Kadang-kadang jaringan paru-paru telah rusak (terutama pada empiema tuberkulosa) sehingga sukar sembuh, karena itu perlu pleuro-pneumonektomi.

Asbestosis: Defenisi, Klinis, Diagnosis dan Tatalaksana


Definisi
Asbestosis adalah fibrosis interstitialis kronis yang menyebar pada parenkim paru akibat menghirup serat asbes. Contoh penyakit paru lain yang berhubungan dengan asbes adalah plak dan kalsifikasi pleura, kanker paru, dan tumor ganas mesotelioma. Penyakit ini mungkin berhubungan dengan asbes, mungkin juga tidak.

Pekerjaan berisiko
Derajat pajanan terhadap asbes yang tinggi dapat timbul pada pembuatan produk berbahan semen asbes, pertambangan, dan pemrosesan serat asbes, pembongkaran gedung dan renovasi bangunan dengan membuang bahan yang terbuat dari asbes, pekerjaan isolasi seperti pelapisan ketel uap, penggantian isolasi tungku pembakaran, dsb. Pekerja lain yang terpajan termasuk montir yang mengganti minyak rem, pekerja yang membuat gasket asbes, pekerja perbaikan dan pemeliharaan di galangan kapal, kilang minyak, stasiun tenaga listrik, dan pekerja bangunan.

Gambaran klinis
Pasien dengan asbestosis biasanya datang dengan napas pendek saat beraktivitas dan batuk.Temuan klinis termasuk dispnoe, krepitasi pada basal paru, dan jari tabuh. Pemeriksaan rontgen paru menunjukkan fibrosis interstitialis yang luas, dibuktikan dengan adanya bayangan opak bergaris-garis pada lapang paru bagian tengah dan basal di kedua sisi paru. Kemungkinan terdapat plak pleura. Fungsi paru menunjukkan gambaran hambatan dan DLCO berkurang.
Flak pleura yang berhubungan dengan pajanan terhadap ashes ditemukan terutama pada pleura parietalis. Kalsifikasi, bila ada, mungkin berhubungan dengan lama terjadinva lesi. Plak tersebut dapat mengelompok atau menyebar. Kebanvakan bukti memberi kesan bahwa bila tidak ada asbestosis atau penebalan yang meluas, tidak ada hubungan antara plak pleura yang terisolasi dengan perburukan hambatan yang bermakna. Penda pat bahwa pasien dengan penebalan pleura yang luas mempunvai volume paru yang berkurang dan beberapa bukti adanva hambatan pernapasan, dapat diterima. Penebalan pleura yang luas dapat dibedakan dengan penebalan pleura yang terbatas dengan hilangnya sudut kostofrenikus pada pemeriksaan rontgen paru. Tampaknya tidak ada hubungan langsung antara plak pleura dengan berkembangnya mesotelioma.
Gangguan fungsi saluran napas kecil (SAD) mungkin dihubungkan dengan pajanan terhadap asbes. Terperangkapnya udara akibat SAD dapat menjelaskan terjadinya beberapa pengurangan kapasistas vital pada pekerja yang terpajan asbes dengan rasio FEVWFVC normal.
Perkembangan kanker bronkus pada pekerja yang terpajan asbes tampaknya berhubungan dengan dosis pajanan. Hal ini dihubungkan dengan berbagai jenis serat asbes, misalnva chrysotile, anthophylite, crocidolite, dan amosite. Terdapat peningkatan risiko kanker paru yang bermakna pada pekerja asbes yang merokok yang memberi kesan adanva efek sinergi. Kanker tersebut terutama jenis sel skuamosa atau adenokarsinoma. Asbestosis dan kanker paru sering timbul bersamaan karena keduanya berhubungan dengan dosis pajanan.
Pajanan asbes pada tempat kerja memegang peranan sebanyak 85% kasus mesotelioma ganas. Umumnya, dapat diterima bahwa pajanan terhadap crocidolite memberikan risiko yang jauh lebih besar dibandingkan pajanan terhadap chrysotile. Risiko ini tampaknya tidak berhubungan dengan kadar asbes yang terhirup karena risiko ini dapat ditemukan pada subjek dengan atau tanpa asbestosis seperti halm:a pada orang yang hanya terpajan dari lingkungan saja dan tidak terpajan dari pekerjaan. Periode laten rata-rata sekitar 35 hingga 40 tahun. Asbes dapat menyebabkan mesotelioma pada pleura maupun pada peritoneum. Keluhan yang dialami pasien dengan mesotelioma pada pleura adalah nyeri dada dan sesak napas. Napas yang pendek bersifat progresif dan berhubungan dengan desakan tumor pada paru atau efusi pleura. Pasien dengan mesotelioma pada peritoneum dating dengan keluhan nyeri abdomen luas, pembengkakan, dan berat bahan yang menurun.

Diagnosis
Gambaran klinis, gambaran rontgen paru, dan riwayat pajanan terhadap asbes sebelumnya akan mengarahkan penegakan diagnosis asbestosis atau penyakit lain yang berhubungan dengan asbes. Biopsi diperlukan untuk mengonfirmasi diagnosis penyakit ganas. Kadang, sukar membeciakan mesotelioma ganas dan metastase adenokarsinoma pada gambaran histologi. Riwayat adanya pajanan terhadap asbes harus selalu dicari untuk semua kasus efusi pleura. Adanya butiran asbes dalam sputum atau jaringan paru menunjukkan adanya pajanan namun bukan penyakit akibat asbes.

Tatalaksana
Asbestosis, seperti halnya silikosis, dapat berkembang walaupun sudah disingkirkan dari pajanan. Pengobatan bersifat simtomatis. Tindakan pencegahan dimulai dari tindakan substitusi asbes menggunakan bahan lain, penutupan lokasi pengolahan, pemasangan ventilasi lokal, dan proteksi respirasi. Pasien yang terpajan disarankan untuk berhenti merokok untuk memperkecil efek gabungan terhadap paru dan risiko kanker paru.

Konsep Dasar Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

A. Konsep Dasar Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan
Menurut Pearce Evelyn C (2000), sistem pernafasan terdiri dari komponen berupa saluran pernafasan yang dimulai dari hidung, pharing, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, alveolus. Saluran pernafasan bagian atas dimulai dari hidung sampai trakea dan bagian bawah dari bronkus sampai alveolus.
Fungsi utama sistem pernafasan adalah menyediakan oksigen untuk metabolisme jaringan tubuh dan mengeluarkan karbondioksida sebagai sisa metabolisme jaringan. (Pearce Evelyn C, 2000 : 211).
Sedangkan menurut Ethel Sloane (2004 : 266) Fungsi utama sistem pernafasan adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Sedangkan fungsi tambahan sistem pernafasan adalah sebagai produksi wicara dan berperan dalam keseimbangan asam basa, pertahanan tubuh melawan benda asing, dan pengaturan hormonal tekanan darah. Respirasi melibatkan proses sebagai berikut :
1. Ventilasi Pulmonar (Pernafasan) adalah jalan masuk dan keluar udara dari saluran pernafasan dan paru-paru.
2. Respirasi Eksternal adalah difusi O2 dan CO2 antara udara dalam paru dan kapiler pulmonar.
3. Respirasi Internal adalah difusi O2 dan CO 2 antara sel-sel darah dan sel-sel jaringan.
4. Respirasi Selular adalah penggunaan O2 oleh sel-sel tubuh untuk produksi energi, dan pelepasan produk oksidasi (CO2 dan air) oleh sel-sel tubuh.
(Ethel Sloane, 2004 : 266)
Adapun kondisi yang mendukung dari proses pernafasan adalah tekanan oksigen atau udara atmosfer harus cukup, kondisi jalan napas dalam keadaan normal, kondisi otot pernafasan dan tulang iga harus baik, ekspansi dan rekoil paru, fungsi sirkulasi (jantung), kondisi pusat pernafasan dan hemoglobin sebagai pengikat oksigen. (Pearce Evelyn C, 2000 : 211)
Berikut ini menurut Ethel Sloane (2004) menjelaskan lebih rinci mengenai anatomi dan fisiologi dari organ-organ pernafasan :
1. Rongga Hidung dan Nasal
a. Hidung Eksternal berbentuk piramid disertai dengan suatu akar dan dasar. Bagian ini tersusun dari kerangka kerja tulang, kartilago hialin, dan jaringan fibroareolar.
1) Septum nasal membagi hidung menjadi sisi kiri dan sisi kanan rongga nasal. Bagian anterior septum adalah kartilago.
2) Naris (nostril) eksternal dibatasi oleh kartilago nasal.
a) Kartilago nasal lateral terletak di bawah jembatan hidung.
b) Ala besar dan ala kecil kartilago nasal mengelilingi nostril.
3) Tulang hidung
a) Tulang nasal membentuk jembatan dan bagian superior kedua sisi hidung.
b) Vomer dan lempeng perpendikular tulang etmoid membentuk bagian posterior septum nasal.
c) Lantai rongga nasal adalah palatum keras yang terbentuk dari tulang maksila dan palatinum.
d) Langit-langit rongga nasal pada sisi medial terbentuk dari lempeng kribriform tulang etmoid, pada sisi anterior dari tulang frontal dan nasal, dan pada sisi posterior dari tulang sfenoid.
e) Konka (turbinatum) nasalis superior, tengah dan inferior menonjol pada sisi mesial dinding lateral rongga nasal. Setiap konka dilapisi membran mukosa (epitel kolumnar bertingkat dan bersilia) yang berisi kelenjar pembuat mukus dan banyak mengandung pembuluh darah.
f) Meatus superior, medial dan inferior merupakan jalan udara rongga nasal yang terletak di bawah konka.
4) Empat pasang sinus paranasalis (frontal etmoid, maksilar, dan sfenoid) adalah kantong tertutup pada bagian frontal etmoid, maksilar, dan sfenoid. Sinus ini dilapisi membran mukosa.
a) Sinus berfungsi untuk meringankan tulang kranial, memberi area permukaan tambahan pada saluran nasal untuk menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk, memproduksi mukus dan memberi efek resonansi dalam produksi wicara.
b) Sinus paranasal mengalirkan cairannya ke meatus rongga nasal melalui duktus kecil yang terletak di area tubuh yang lebih tinggi dari area lantai sinus. Pada posisi tegak, aliran mukus ke dalam rongga nasal mungkin terhambat, terutama pada kasus infeksi sinus.
c) Duktus nasolakrimal dari kelenjar air mata membuka ke arah meatus inferior.
b. Membran Mukosa Nasal
1) Struktur
a) Kulit pada bagian ekternal permukaan hidung yang mengandung folikel rambut, keringat dan kelenjar sebasea, merentang sampai vestibula yang terletak di dalam nostril. Kulit di bagian dalam ini mengandung rambut (vibrissae) yang berfungsi untuk menyaring partikel dari udara terhisap.
b) Di bagian rongga nasal yang lebih dalam, epitelium respiratorik membentuk mukosa yang melapisi ruang nasal selebihnya, lapisan ini terdiri dari epitelium bersilia dengan sel goblet yang terletak pada jaringan ikat tervaskularisasi dan terus memanjang untuk melapisi saluran pernafasan sampai ke bronkus.
2) Fungsi
a) Penyaring partikel kecil. Silia pada epitelium respiratorik melambai ke depan dan belakang dalam suatu lapisan mukus. Gerakan dan mukus membentuk suatu perangkap untuk partikel yang kemudian akan disapu ke atas untuk ditelan, dibatukkan, atau dibersinkan keluar.
b) Penghangatan dan pelembaban udara yang masuk. Udara kering akan dilembabkan melalui evaporasi sekresi serosa dan mukus serta dihangatkan oleh radiasi panas dari pembuluh darah yang terletak di bawahnya.
c) Resepsi odor. Epitelium olfaktori yang terletak di bagian atas rongga hidung di bawah lempeng kribriform, mengandung sel-sel olfaktori yang mengalami spesialisasi untuk indera penciuman.
(Ethel Sloane, 2004 : 266 – 267)
2. Faring adalah tabung muscular berukuran 12,5 cm yang merentang dari bagian dasar tulang tengkorak sampai sampai esofagus. Faring terbagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring.
a. Nasofaring adalah bagian posterior rongga nasal yang membuka ke arah rongga nasal melalui dua naris internal (koana).
1) Dua tuba Eustachius (auditorik) menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah. Tuba ini berfungsi untuk menyetarakan tekanan udara pada kedua sisi gendang telinga.
2) Amandel (adenoid) faring adalah penumpukan jaringan limfatik yang terletak di dekat naris internal. Pembesaran adenoid dapat menghambat aliran udara.
b. Orofaring dipisahkan dari nasofaring oleh palatum lunak muscular, suatu perpanjangan palatum keras tulang.
1) Uvula (anggur kecil) adalah prosesus kerucut (conical) kecil yang menjulur ke bawah dari bagian tengah tepi bawah palatum lunak.
2) Amandel palatinum terletak pada kedua sisi orofaring posterior.
c. Laringofaring mengelilingi mulut esofagus dan laring, yang merupakan gerbang untuk sistem respiratorik selanjutnya.
(Ethel Sloane, 2004 : 267 – 268)
3. Laring (kotak suara) menghubungkan faring dengan trakea. Laring adalah tabung pendek berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago; tiga berpasangan dan tiga tidak berpasangan. (Ethel Sloane, 2004 : 268). Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara, namun ternyata mempunyai tiga fungsi utama yaitu proteksi jalan napas, respirasi dan fonasi (Boies, 1997: 269).
a. Kartilago tidak berpasangan
1) Kartilago tiroid (jakun) terletak di bagian proksimal kelenjar tiroid. Biasanya berukuran lebih besar dan lebih menonjol pada laki-laki akibat hormon yang disekresi saat pubertas.
2) Kartilago krikoid adalah cincin anterior yang lebih kecil dan lebih tebal, terletak di bawah kartilago tiroid.
3) Epiglotis adalah katup kartilago elastis yang melekat pada tepian anterior kartilago tiroid. Saat menelan, epiglottis secara otomatis menutupi mulut laring untuk mencegah masuknya makanan dan cairan.
b. Kartilago berpasangan
1) Kartilago aritenoid terletak di atas dan di kedua sisi kartilago krikoid. Kartilago ini melekat pada pita suara sejati, yaitu lipatan berpasangan dari epitelium skuamosa bertingkat.
2) Kartilago kornikulata melekat pada bagian ujung kartilago aratenoid.
3) Kartilago kuneiform berupa batang-batang kecil yang membantu menopang jaringan lunak.
c. Dua pasang lipatan lateral membagi rongga laring.
1) Pasangan bagian atas adalah lipatan ventrikular (pita suara semu) yang tidak berfungsi saat produksi suara.
2) Pasangan bagian bawah adalah pita suara sejati yang melekat pada kartilago tiroid dan pada kartilago aritenoid serta kartilago krikoid. Pembuka di antara kedua pita ini adalah glottis.
a) Saat bernafas, pita suara teraduksi (tertarik membuka) oleh otot laring, dan glottis berbentuk triangular.
b) Saat menelan, pita suara teraduksi (tertarik menutup), dan glottis membentuk celah sempit.
c) Dengan demikian, kontraksi otot rangka mengatur ukuran pembukaan glottis dan derajat ketegangan pita suara yang diperlukan untuk produksi suara.
(Ethel Sloane, 2004 : 268)
4. Trakea (pipa udara) adalah tuba dengan panjang 10 cm sampai 20 cm dan diameter 2,5 cm serta terletak di atas permukaan anterior esofagus. Tuba ini merentang dari laring pada area vertebra serviks Keenam sampai area vertebra toraks kelima tempatnya membelah menjadi dua bronkus utama.
a. Trakea dapat tetap terbuka karena adanya 16 sampai 20 cincin kartilago berbentuk C. Ujung posterior mulut cincin dihubungkan oleh jaringan ikat dan otot sehingga memungkinkan ekspansi esofagus.
b. Trakea dilapisi epitelium respiratorik (kolumnar bertingkat dan bersilia) yang mengandung banyak sel goblet.
(Ethel Sloane, 2004 : 268)
5. Bronkus
a. Bronkus primer (utama) kanan berukuran lebih pendek, lebih tebal, dan lebih lurus dibandingkan bronkus primer kiri karena arkus aorta membelokkan trakea bawah ke kanan. Objek asing yang masuk ke dalam trakea kemungkinan ditempatkan dalam bronkus kanan.
b. Setiap bronkus primer bercabang 9 sampai 12 kali untuk membentuk bronki sekunder dan tertier dengan diameter yang semakin kecil. Saat tuba semakin menyempit, batang atau lempeng kartilago mengganti cincin kartilago.
c. Bronki disebut ekstrapulmonar sampai memasuki paru-paru, setelah itu disebut intrapulmonar.
d. Struktur mendasar dari kedua paru-paru adalah percabangan bronkial yang selanjutnya : bronki, bronkiolus, bronkiolus terminal, bronkiolus respiratorik duktus alveolar dan alveoli. Tidak ada kartilago dalam bronkiolus; silia tetap ada sampai bronkiolus respiratorik terkecil.
(Ethel Sloane, 2004 : 269)
6. Bronkiolus
Bronkiolus adalah salah satu cabang yang lebih kecil dan tidak memiliki cartilago dalam dindingnya. Setiap bronkiolus memecah menjadi cabang-cabang yang lebih kecil. Duktus alveolaris adalah cabang yang paling kecil; setiap ujung terdapat sekelompok alveolus (Gibson, 2003: 145).
7. Alveolus
Alveolus adalah unit fungsional paru. Setiap paru mengandung lebih dari 350 juta alveoli, masing-masing dikelilingi banyak kapiler darah. Alveoli berkelompok mirip anggur dan menyediakan permukaan yang amat luas bagi pertukaran gas, yaitu 60-70 m2, yang 20 kali lebih luas permukaan kulit. Ada dua jenis sel pelapis alveoli, yaitu tipe I (sel alveolar gepeng) dan tipe II (sel septa). Sel tipe II berbentuk kuboid dan menonjol ke dalam ruang alveoli. Sel tipe II ini menghasilkan surfaktan, yang ikut menahan agar alveoli tidak kolaps. Pada alveolus terdapat pula makrofag alveolar (disebut juga sel debu), yang terdapat di dalam septum interalveolaris atau bebas di dalam ruang alveolus. Sel ini makan dan memusnahkan mikroorganisme dan partikel asing lainnya (Tambayong, 2001: 83).
8. Paru-paru
a. Paru-paru adalah organ berbentuk pyramid seperti spons dan berisi udara, terletak dalam rongga toraks.
1) Paru kanan memiliki tiga lobus; paru kiri memiliki dua lobus.
2) Setiap paru memiliki sebuah apeks yang mencapai bagian atas iga pertama, sebuah permukaan diafragmatik (bagian dasar) terletak di atas diafragma, sebuah permukaan mediastinal (medial) yang terpisah dari paru-paru lain oleh mediastinum, dan permukaan kostal terletak di atas kerangka iga.
3) Permukaan mediastinal memiliki hilus (akar), tempat masuk dan keluarnya pembuluh darah bronki, pulmonar dan bronkial dari paru.
b. Pleura adalah membran penutup yang membungkus setiap paru.
1) Pleura parietal melapisi rongga toraks (kerangka iga, diafragma, mediastinum).
2) Pleura viseral melapisi paru dan bersambungan dengan pleura parietal di bagian bawah paru.
3) Rongga pleura (ruang intrapleural) adalah ruang potensial antara pleura parietal dan viseral yang mengandung lapisan tipis cairan pelumas. Cairan ini disekresi oleh sel-sel pleural sehingga paru-paru dapat mengembang tanpa melakukan friksi. Tekanan cairan (tekanan intrapleura) agak negatif dibandingkan tekanan atmosfer.
4) Resesus pleura adalah area rongga pleura yang tidak berisi jaringan paru. Area ini muncul saat pleura parietal bersilangan dari satu permukaan ke permukaan lain. Saat bernafas, paru-paru bergerak keluar masuk area ini.
a) Resesus pleura kostomediastinal terletak di tepi anterior kedua sisi pleura, tempat pleura parietal berbelok dari kerangka iga ke permukaan lateral mediastinum.
b) Resesus pleura kostodiafragmatik terletak di tepi posterior kedua sisi pleura diantara diafragma dan permukaan kostal internal toraks.
(Ethel Sloane, 2004 : 269)
B. Konsep Dasar Pneumonia
1. Pengertian
“Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing”. (Ngastiyah, 1997 : 39).
“Pneumonia adalah suatu peradangan alveoli atau pada parenkim paru yang terjadi pada anak”. (Suriadi, 2001 : 247).
“Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru, biasanya berhubungan dengan pengisian alveoli dengan cairan”. (Doenges, 1999 : 164).
“Pneumonia adalah proses inflamasi dimana gas alveolar dipindahkan oleh materi selular”. (Hudak & Gallo, 1997 : 559)
“Pneumonia adalah proses inflamasi pada parenkim paru yang terjadi sebagai akibat adanya invasi agen infeksius atau adanya kondisi yang mengganggu tahanan saluran trakeobronkialis sehingga flora endogen yang normal berubah menjadi patogen ketika memasuki saluran jalan nafas”. (Barbara Engram, 1999 : 61).
“Pneumonia adalah infeksi yang mengenai saluran nafas sebelah distal terutama alveoli, disertai pembentukan eksudat peradangan”. (Underwood, 2000 : 390).
“Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, bahan kimia, inhalasi asap, debu, alergen dan aspirasi isi lambung; jaringan paru berkonsolidasi karena alveoli terisi oleh eksudat”. (Tucker et al, 1998 : 247).
“Pneumonia adalah peradangan dimana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga alveoli oleh eksudat”. (Barbara C. Long, 1996 : 434).
“Pneumonia adalah proses inflamasi dari parenkim paru yang umumnya disebabkan oleh preparat infeksius”. (Smeltzer, 2000 : 571).
“Pneumonia is an inflammation of the parenchyma of the lungs, it can occur as either a primary or secondary disease. The two most common types are viral and bacterial”. Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru-paru, bisa terjadi pada penyakit primer maupun sekunder dan dua tipe yang lazim adalah viral dan bakterial. (Bonita, 1997 : 404).
“Pneumonia is defined as an infection of the lower respiratory tract that involves the lung parenchyma, including the alveoli and supportive structures”. Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang terjadi pada parenkim paru, termasuk alveoli dan struktur yang mendukungnya. (Reeves, 1999 : 56).
“Pneumonia (pneumonitis) is an inflammatory process of lung parenchyma usually associated with a marked increase in interstitial and alveolar fluid”. Pneumonia adalah proses inflamasi pada parenkim paru yang biasanya dihubungkan dengan tanda-tanda peningkatan cairan interstitial dan alveolar. (Arlene Polaski, 1996 : 585)
“Pneumonia (pneumonitis) is an inflammatory process in lung parenchyma usually associated with a marked increase in interstitial and alveolar fluid”. Pneumonia adalah proses inflamasi pada parenkim dalam paru yang biasanya dihubungkan dengan tanda-tanda peningkatan cairan interstitial dan alveolar. (Joyce M. Black, 1997 : 1134)
“Pneumonia adalah penyakit serius yang menular disebabkan oleh bakteri atau virus yang menyerang bagian paru-paru”. (http://www.geocities.com).
“Pneumonia adalah peradangan yang terjadi pada parenkim paru dan bronkiolus”. (http://www.agrolink.moa.my.co.id).
“Pneumonia adalah radang paru yang dapat disebabkan oleh beberapa macam bakteri salah satunya adalah Streptococcus Pneumoniae yang disebut juga pneumokokus”. (http://www.indosiar.co.id)
“Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)”. (http://www.adventispasteur.co.id)
2. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, aspirasi atau inhalasi.
a. Bakteri : - Gram positif : Streptococcus Pneumoniae (Pneumococcal Pneumonia), Staphylococcus Aureus.
- Gram negatif : Haemophilus Influenzae, Pseudomonas Aeruginosa, Klebsiella Pneumoniae (Friedlender’s Bacillus).
- Anaerobik : Anaerobic Streptococcus, Fusobacteria, Bacteroides Species.
- Atipikal : Legionella Pneumophila, Mycoplasma Pneumoniae
b. Virus : Influenza, Parainfluenza, Adenovirus.
c. Jamur : Candidiasis, Blastomycosis, Cryptococcosis, Histoplasmosis, Coccidioidomycosis.
(Arlene Polaski, 1996)
d. Aspirasi : Makanan, Cairan, Muntah.
e. Inhalasi : Racun atau bahan kimia (Polivinilpirolidin, Gumma Arabikum, Berillium, Uap air raksa), rokok, debu dan gas.
(Joyce M. Black, 1997)
3. Klasifikasi
Menurut Engram (1999 : 60), pneumonia diklasifikasikan sesuai dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Agen penyebab :
1) Protozoa (Pneumocytis Carinii) bakterial, viral dan jamur pneumonia (jika dikarenakan agen infeksius tersebut).
2) Pneumonia Aspirasi-disebabkan oleh karena aspirasi isi gaster, makanan atau cairan.
3) Pneumonia Radiasi-disebabkan oleh terapi radiasi terhadap kanker struktur badan bagian atas seperti: kanker payudara, kanker paru atau esofagus.
4) Pneumonia Hipostatik-berkaitan dengan imobilisasi yang lama.
5) Pneumonia Inhalasi-berkaitan dengan inhalasi gas yang bersifat toksik, asap dan zat kimia.
b. Area paru-paru yang terkena :
1) Pneumonia Lobaris-area yang terkena meliputi satu lobus atau lebih.
2) Bronkopneumonia-proses pneumonia yang dimulai di bronkus dan menyebar ke jaringan paru sekitarnya.
Menurut Underwood (2000 : 390) Pneumonia terbagi menjadi :
a. Pneumonia Infektif
1) Bronkopneumonia
Bronkopneumonia mempunyai karakteristik bercak-bercak distribusi yang terpusat pada bronkiolus dan bronkus yang meradang disertai penyebaran ke alveoli sekitarnya. Ini sering terjadi pada orang usia lanjut, bayi dan penderita yang sangat lemah, misalnya penderita kanker, gagal jantung, gagal ginjal kronis dan trauma serebrovaskuler. Bronkopneumonia juga terjadi pada penderita bronchitis akut, sumbatan nafas kronis atau kistik fibrosis. Kegagalan membersihkan saluran nafas dari hasil sekresi, seperti yang biasanya terjadi pada periode setelah operasi, juga merupakan predisposisi terjadinya bronkopneumonia.
Organisme penyebab ialah Stafilococcus, Streptococcus, Haemophilus Influenzae, Koliform dan jamur. Penderita sering mengalami septikemia dan toksik, disertai demam dan berkurangnya kesadaran. Daerah yang terkena dapat diidentifikasi secara klinis dengan terdengarnya suara krepitasi pada pemeriksaan auskultasi.
Daerah paru yang terkena cenderung pada bagian basal dan bilateral. Pada pemeriksaan postmortem terlihat berwarna kelabu atau kelabu atau kelabu merah. Histologi menunjukkan radang akut yang khas disertai eksudat. Dengan antibiotik dan fisioterapi, daerah yang sakit akan mengalami penyembuhan atau perbaikan dengan meninggalkan jaringan parut.
2) Pneumonia Lobaris
Pneumonia Pneumokokus khas mengenai orang dewasa berumur antara 20 sampai 50 tahun; meskipun begitu pneumonia lobaris akibat Klebsiella mengenai individu berusia lanjut, penderita Diabetes Mellitus atau alkoholik. Gejalanya berupa batuk, demam dan produksi sputum. Sputum terlihat purulen dan mungkin mengandung bercak darah, yang disebut sputum karat (Rusty). Demam dapat sangat tinggi (lebih 40o C), disertai menggigil. Nyeri dada pada waktu inspirasi yang merefleksikan terlibatnya pleura. bersamaan dengan terjadinya konsolidasi paru, terdapat suara redup pada perkusi disertai naiknya suara pektoralis dan suara nafas bronkial. Bronkiolus yang berisi sel radang dan alveoli di dekatnya berisi penuh eksudat. Pigmen berwarna hitam adalah karbon, sering ditemukan.
3) Pneumonia Khusus
Pneumonia khusus dapat disubklasifikasikan ke dalam kelompok yang normal (non-imunosupresi), atau yang imunosupresi.
a) Pada host yang imunosupresi (normal)
Pneumonia khusus pada host normal (non-imunosupresi), mungkin sebagai akibat dari :
- Virus, misalnya Influenza, Respiratory Syncyial Virus (RSV), Adenovirus dan Mikoplasma.
- Penyakit Legionnaires.
Pneumonia Mikoplasma dan Pneumonia Virus
Kejadian klinis bermacam-macam tergantung pada luas dan beratnya penyakit. Pada kasus yang fatal, paru menjadi bertambah berat, kemerahan dan memadat seperti pada sindroma distres pernafasan dewasa. Histologi menunjukkan radang interstisial yang terdiri dari limposit, magkrofag dan sel plasma. Membran hialin dan eksudat fibrinosa terlihat menonjol. Alveoli relatif bebas dari eksudat seluler.
Pneumonia Mikkoplasma cenderung menyebabkan pneumonia kronis dalam derajat yang lebih rendah, disertai radang interstisial dan beberapa membran hialin. Sifat kronis penyakit akan menyebabkan organisasi radang dan fibrosis paru.
Virus Influenza dapat menyebabkan pneumonia akut fulminan disertai perdarahan paru; perjalanan kliniknya sangat cepat dan fatal.
Penyakit Legionaires
Penyakit ini disebabkan oleh basil Legionella Pneumophila, dan disebarkan melalui tetesan air dari pengatur kelembaban udara dan tangki penampungan air yang telah terkontaminasi. Penderita sebelumnya dalam keadaan sehat, walaupun sebagian kecil telah mempunyai penyakit kronis, seperti gagal jantung atau karsinoma. Gejala berupa batuk, dyspnea dan nyeri pada daerah dada, bersama-sama dengan bentuk sistemik lain, misalnya mialgia, sakit kepala, kesadaran menurun, mual, muntah dan diare. Sekitar 10 – 20 % kasus adalah fatal. Pada autopsy ditemukan paru bertambah berat dan memadat.
b) Pada host yang imunosupresi
Apabila kondisi imunosupresi mengenai seorang penderita, paru akan mudah menjadi sakit oleh organisme yang non-patogen bagi individu yang tidak mengalami imunosupresi. Keadaan ini dikenal sebagai infeksi “Oportunistik”. Pada setiap penderita imunosupresi, timbulnya demam, nafas yang pendek dan batuk bersama dengan infiltrat paru, merupakan kejadian yang membahayakan.
Penyebab infeksi Oportunistik yang sering ialah :
- Pneumocystis Carinii.
- Jamur lain, misalnya Candida, Aspergillus.
- Virus, misalnya Sitomegalovirus, campak.
Pneumocystis Carinii
Alveoli terisi eksudat yang berbuih berwarna jambon. Dengan pewarnaan impregnasi perak akan dapat dilihat organisme berbentuk bulat atau bulan sabit. Ditemukan juga kerusakan alveolar yang difus.
Jamur
Baik Candida maupun Aspergillus keduanya dapat menyebabkan nekrosis yang luas. Mikro-abses mengandung filamen jamur yang khas.
Virus
Infeksi virus dapat memproduksi kerusakan alveolar yang difus. Khas ditemukan inklusi intranukleus disertai infeksi oleh Sitomegalovirus (CMV). Pneumonitis campak memproduksi pneumosit raksasa yang tersebar disertai metaplasia skuamosa bronkus dan bronkiolus.
b. Pneumonia Non-Infektif
1. Aspirasi Pneumonia
Aspirasi pneumonia terjadi ketika cairan atau makanan terhisap masuk ke dalam paru, dan terjadi konsolidasi dan radang sekunder. Keadaan klinis yang merupakan resiko bagi penderita ialah pembiusan, operasi, koma, stupor karsinoma laring dan kelemahan hebat. Bagian paru yang terkena bermacam-macam tergantung posisi tubuh penderita. Bila dalam keadaan tidur terlentang, daerah yang terkena adalah segmen apikal lobus bawah. Bila dalam keadaan tidur miring ke sisi kanan, daerah yang terkena ialah segmen posterior lobus atas. Daerah yang sering terkena mengandung anaerobic, dan abses paru mengandung material yang membusuk.
2. Lipid Pneumonia
Lipid Pneumonia dapat endogen akibat obstruksi saluran nafas yang menyebabkan terjadinya timbunan magkrofag dan sel raksasa disebelah distal. Keadaan ini sering ditemukan disebelah distal dari karsinoma bronkus atau benda asing yang terhirup. Disamping itu lipid pneumonia dapat juga disebabkan oleh faktor eksogen, akibat terhirupnya material yang mengandung konsentrasi lipid yang tinggi. Material seperti ini misalnya paraffin cair atau tetes hidung berbentuk minyak. Vakuola lipid dicerna oleh sel raksasa benda asing; dan dapat ditemukan beberapa fibrosis interstisial.
3. Eosinofilik Pneumonia
Eosinofilik Pneumonia ditandai oleh banyak Eosinofil dalam interstisial dan alveoli. Mungkin dapat ditemukan sumbatan mukus pada bagian proksimal saluran nafas, seperti yang ditemukan pada asma, atau oleh Aspergillus, seperti pada bronkopulmoner aspergilosis. Kambuhnya radang bronkial dapat mengakibatkan destruksi dinding disertai penggantian oleh jaringan granulasi dan sel raksasa; ini disebut Bronkosentrik Granulomatosis. Disamping itu, eosinofilik pneumonia dapat ditemukan sewaktu mikrofilaria pindah melalui sirkulasi paru. Ini dapat juga idiopatik, yang berkaitan dengan eosinofilia darah pada sindroma Loffler.
4. Patofisiologi
Di antara semua pneumonia bakteri, patogenesis dari pneumonia pneumokokus merupakan yang paling banyak diselidiki. Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva. Lobus bagian bawah paru-paru paling sering terkena karena efek gravitasi. Setelah mencapai alveoli, maka pneumokokus menimbulkan respon yang khas terdiri dari empat tahap yang berurutan (Price, 1995 : 711) :
a. Kongesti (24 jam pertama) : Merupakan stadium pertama, eksudat yang kaya protein keluar masuk ke dalam alveolar melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor, disertai kongesti vena. Paru menjadi berat, edematosa dan berwarna merah.
b. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) : Terjadi pada stadium kedua, yang berakhir setelah beberapa hari. Ditemukan akumulasi yang masif dalam ruang alveolar, bersama-sama dengan limfosit dan magkrofag. Banyak sel darah merah juga dikeluarkan dari kapiler yang meregang. Pleura yang menutupi diselimuti eksudat fibrinosa, paru-paru tampak berwarna kemerahan, padat tanpa mengandung udara, disertai konsistensi mirip hati yang masih segar dan bergranula (hepatisasi = seperti hepar).
c. Hepatisasi kelabu (3-8 hari) : Pada stadium ketiga menunjukkan akumulasi fibrin yang berlanjut disertai penghancuran sel darah putih dan sel darah merah. Paru-paru tampak kelabu coklat dan padat karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
d. Resolusi (8-11 hari) : Pada stadium keempat ini, eksudat mengalami lisis dan direabsorbsi oleh makrofag dan pencernaan kotoran inflamasi, dengan mempertahankan arsitektur dinding alveolus di bawahnya, sehingga jaringan kembali pada strukturnya semula.
(Underwood, 2000 : 392).
Menurut Suryadi (2001 : 247) patofisiologi pada pneumonia adalah :
a. Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme patogen yaitu virus dan (Streptococcus Aureus, Haemophillus Influenzae dan Streptococcus Pneumoniae) bakteri.
b. Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multiple lobus. Terjadinya destruksi sel dengan meninggalkan debris cellular ke dalam lumen yang mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan nafas.
c. Pada kondisi anak ini dapat akut dan kronik misalnya : Cystic Fibrosis (CF), aspirasi benda asing dan konginetal yang dapat meningkatkan resiko pneumonia.
Skema Patofisiologi
Streptococcus Pneumonia
Respon Peradangan
Edema Alveolar Pembentukan Eksudat
Alveoli dan Bronkiolus terisi cairan eksudat,
sel darah, fibrin bakteri
(Suryadi, 2001 : 248)
5. Manifestasi Klinis
Masa Inkubasi berlangsung 9 hari sampai 21 hari, biasanya 12 hari. Sekitar 25 – 50 % pasien mempunyai gejala infeksi saluran pernafasan atas yang ditandai dengan tenggorokan dan gejala nasal pada waktu permulaan pneumonia. Gejala dini yang khas adalah demam, menggigil, batuk dan sakit kepala, rasa tidak enak badan, nyeri tenggorokan, nyeri dada, sakit telinga. (Soeparman, 1999 : 709).
Sedangkan menurut Donna L. Wong (1995 : 1400) manifestasi klinis pada pneumonia sebagai berikut :
a. Demam, biasanya demam tinggi.
b. Nyeri dada.
c. Batuk; batuk tidak produktif sampai produktif dengan sputum yang berwarna keputih-putihan.
d. Takipnea, sianosis
e. Suara nafas rales atau ronki.
f. Pada perkusi terdengar dullness.
g. Retraksi dinding thorak.
h. Pernafasan cuping hidung.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Black (1997: 1134) pemeriksaan diagnostik yang biasa dilakukan pada penderita pneumonia adalah:
a. Kultur sputum.
b. Darah dan kultur urine untuk pemeriksaan penyebaran yang spesifik.
c. Arteri Gas Darah (AGD) untuk pemeriksaan kebutuhan suplemen oksigen.
d. Pemeriksaan Radiologi untuk menentukan lokasi dan keberadaan pneumonia.
Sedangkan menurut Doenges (1999 : 165) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa pneumonia antara lain :
Sinar X : Mengidentifikasi distribusi struktural (misal lobar, bronkial); dapat juga menyatakan abses luas/ infiltrat, empiema (Staphylococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bacterial); atau penyebaran/ perluasan infiltrat nodul (lebih sering virus). Pada pneumonia mikoplasma, sinar x dada mungkin bersih.
GDS/ Oksimetri : Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
Pemeriksaan gram/ Kultur sputum dan darah : Dapat diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopi fiberoptik, atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab. Lebih dari satu tipe oeganisme yang ada; bakteri yang umum meliputi Diplocoocus Pneumonia, Staphylococcus Aureus, A-hemolitik Streptococcus, Haemophylus Influenza; CMV.
Catatan : Kultur sputum dapat tak mengidentifikasi semua organisme yang ada. Kultur darah dapat menunjukkan bakterimia sementara.
JDL : Leukositosis biasanya ada, meskipun sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun seperti AIDS, memungkinkan berkembangnya pneumonia bacterial.
Pemeriksaan Serologi, misal titer virus atau legiolla, agglutinin dingin : Membantu dalam membedakan diagnosis organisme khusus.
LED : Meningkat.
Pemeriksaan fungsi paru : Volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun. Mungkin terjadi perembesan (hipoksemia).
Elektrolit : Natrium dan klorida mungkin rendah.
Bilirubin : Mungkin meningkat.
Aspirasi perkutan/ biopsi jaringan paru terbuka : Dapat menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan Sitoplasma (CMV); karakteristik sel raksasa (rubeola).
7. Penatalaksanaan
Menurut Engram (1999 : 61) penatalaksanaan medis umum yang diberikan pada penderita pneumonia adalah:
a. Farmakoterapi:
1) Antibiotik (diberikan secara intravena)
2) Ekspektoran
3) Antipiretik
4) Analgetik
b. Terapi oksigen dan nebulisasi aerosol
c. Fisioterapi dada dengan drainase postural
Menurut Ngastiyah (1997 : 41) penatalaksanaan yang dapat diberikan pada klien dengan pneumonia adalah :
a. Penisilin 50.000 IU/ kg BB/ hari ditambah kloramfenikol 50 – 70 mg/ kg BB/ hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spectrum luas seperti ampicilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4 – 5 hari.
b. Pemberian oksigen dan cairan intravena; biasanya diperlukan campuran glukose 5 % dan NaCL 0,9 % dengan perbandingan 3 : 1 ditambah larutan KCL 10 mEq/ 500 ml/ botol infus.
8. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi menyertai pneumonia menurut Engram (1999 : 60) adalah:
a. Abses paru
b. Efusi pleural
c. Empiema
d. Gagal nafas
e. Perikarditis
f. Meningitis
g. Atelektasis
Sedangkan menurut Suriadi (2001 : 247) komplikasi yang terjadi adalah:
a. Gangguan pertukaran gas
b. Obstruksi jalan nafas
c. Gagal pernafasan-Pleural effusion (bacterial pneumonia)

KONSEP DASAR PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI URINE

Miksi (berkemih)
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi.
Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu :
Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua
Timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.

§ Anatomi Fisiologik & Hubungan Saraf pada Kandung Kemih
Kandung kemih yang diperlihatkan pada gambar 31.1, adalah ruangan berdinding otot polos yang terdiri dari dua bagian besar :
Badan (corpus), merupakan bagian utama kandung kemih dimana urin berkumpul dan
Leher (kollum), merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong, berjalan secara inferior dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra posterior karena hubungannya dengan uretra.
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas ke segala arah dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg. Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel otot lainnya. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya, sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih dengan segera.
Pada dinding posterior kandung kemih, tepat diatas bagian leher dari kandung kemih, terdapat daerah segitiga kecil yang disebut Trigonum. Bagian terendah dari apeks trigonum adalah bagaian kandung kemih yang membuka menuju leher masuk kedalam uretra posterior, dan kedua ureter memasuki kandung kemih pada sudut tertinggi trigonum. Trigonum dapat dikenali dengan melihat mukosa kandung kemih bagian lainnya, yang berlipat-lipat membentuk rugae. Masing-masing ureter, pada saat memasuki kandung kemih, berjalan secara oblique melalui otot detrusor dan kemudian melewati 1 sampai 2 cm lagi dibawah mukosa kandung kemih sebelum mengosongkan diri ke dalam kandung kemih.
Leher kandung kemih (uretra posterior) panjangnya 2 – 3 cm, dan dindingnya terdiri dari otot detrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar jaringan elastik. Otot pada daerah ini disebut sfinter internal. Sifat tonusnya secara normal mempertahankan leher kandung kemih dan uretra posterior agar kosong dari urin dan oleh karena itu, mencegah pengosongan kandung kemih sampai tekanan pada daerah utama kandung kemih meningkat di atas ambang kritis.
Setelah uretra posterior, uretra berjalan melewati diafragma urogenital, yang mengandung lapisan otot yang disebut sfingter eksterna kandung kemih. Otot ini merupakan otot lurik yang berbeda otot pada badan dan leher kandung kemih, yang hanya terdiri dari otot polos. Otot sfingter eksterna bekerja di bawah kendali sistem saraf volunter dan dapat digunakan secara sadar untuk menahan miksi bahkan bila kendali involunter berusaha untuk mengosongkan kandung kemih.
§ Persarafan Kandung Kemih
Persarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan dengan medula spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan medula spinalis segmen S-2 dan S-3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat saraf sensorik dan serat saraf motorik. Serat sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda regangan dari uretra posterior bersifat sangat kuat dan terutama bertanggung jawab untuk mencetuskan refleks yang menyebabkan pengosongan kandung kemih.
Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat parasimpatis. Serat ini berakhir pada sel ganglion yang terletak pada dinding kandung kemih. Saraf psot ganglion pendek kemudian mempersarafi otot detrusor.
Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting untuk fungsi kandung kemih. Yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan melalui nervus pudendal menuju sfingter eksternus kandung kemih. Ini adalah serat saraf somatik yang mempersarafi dan mengontrol otot lurik pada sfingter. Juga, kandung kemih menerima saraf simpatis dari rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrikus, terutama berhubungan dengan segmen L-2 medula spinalis. Serat simpatis ini mungkin terutama merangsang pembuluh darah dan sedikit mempengaruhi kontraksi kandung kemih. Beberapa serat saraf sensorik juga berjalan melalui saraf simpatis dan mungkin penting dalam menimbulkan sensasi rasa penuh dan pada beberapa keadaan, rasa nyeri.
Transpor Urin dari Ginjal melalui Ureter dan masuk ke dalam Kandung Kemih
Urin yang keluar dari kandung kemih mempunyai komposisi utama yang sama dengan cairan yang keluar dari duktus koligentes, tidak ada perubahan yang berarti pada komposisi urin tersebut sejak mengalir melalui kaliks renalis dan ureter sampai kandung kemih.
Urin mengalir dari duktus koligentes masuk ke kaliks renalis, meregangkan kaliks renalis dan meningkatkan pacemakernya, yang kemudian mencetuskan kontraksi peristaltik yang menyebar ke pelvis renalis dan kemudian turun sepanjang ureter, dengan demikian mendorong urin dari pelvis renalis ke arah kandung kemih. Dinding ureter terdiri dari otot polos dan dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis seperi juga neuron-neuron pada pleksus intramural dan serat saraf yang meluas diseluruh panjang ureter.
Seperti halnya otot polos pada organ viscera yang lain, kontraksi peristaltik pada ureter ditingkatkan oleh perangsangan parasimpatis dan dihambat oleh perangsangan simpatis.
Ureter memasuki kandung kemih menembus otot detrusor di daerah trigonum kandung kemih. Normalnya, ureter berjalan secara oblique sepanjang beberapa cm menembus dinding kandung kemih. Tonus normal dari otot detrusor pada dinding kandung kemih cenderung menekan ureter, dengan demikian mencegah aliran balik urin dari kandung kemih waktu tekanan di kandung kemih meningkat selama berkemih atau sewaktu terjadi kompresi kandung kemih. Setiap gelombang peristaltik yang terjadi di sepanjang ureter akan meningkatkan tekanan dalam ureter sehingga bagian yang menembus dinding kandung kemih membuka dan memberi kesempatan urin mengalir ke dalam kandung kemih.
Pada beberapa orang, panjang ureter yang menembus dinding kandung kemih kurang dari normal, sehingga kontraksi kandung kemih selama berkemih tidak selalu menimbulkan penutupan ureter secara sempurna. Akibatnya, sejumlah urin dalam kandung kemih terdorong kembali kedalam ureter, keadaan ini disebut refluks vesikoureteral. Refluks semacam ini dapat menyebabkan pembesaran ureter dan, jika parah, dapat meningkatkan tekanan di kaliks renalis dan struktur-struktur di medula renalis, mengakibatkan kerusakan daerah ini.
Sensasi rasa nyeri pada Ureter dan Refleks Ureterorenal.
Ureter dipersarafi secara sempurna oleh serat saraf nyeri. Bila ureter tersumbat (contoh : oleh batu ureter), timbul refleks konstriksi yang kuat sehubungan dengan rasa nyeri yang hebat. Impuls rasa nyeri juga menyebabkan refleks simpatis kembali ke ginjal untuk mengkontriksikan arteriol-arteriol ginjal, dengan demikian menurunkan pengeluaran urin dari ginjal. Efek ini disebut refleks ureterorenal dan bersifat penting untuk mencegah aliran cairan yang berlebihan kedalam pelvis ginjal yang ureternya tersumbat.
Refleks Berkemih
Merujuk kembali pada gambar 31-2, kita dapat melihat bahwa selama kandung kemih terisi, banyak yang menyertai kontraksi berkemih mulai tampak, seperti diperlihatkan oleh gelombang tajam dengan garis putus-putus. Keadaan ini disebabkan oleh refleks peregangan yang dimulai oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih, khususnya oleh reseptor pada uretra posterior ketika daerah ini mulai terisi urin pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor regang kandung kemih dihantarkan ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus dan kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung kemih melalui serat saraf parasimpatis melalui saraf yang sama ini.
Ketika kandung kemih hanya terisi sebagian, kontraksi berkemih ini biasanya secara spontan berelaksasi setelah beberapa detik, otot detrusor berhenti berkontraksi, dan tekanan turun kembali ke garis basal. Karena kandung kemih terus terisi, refleks berkemih menjadi bertambah sering dan menyebabkan kontraksi otot detrusor lebih kuat.
Sekali refleks berkemih mulai timbul, refleks ini akan “ menghilang sendiri. “ Artinya, kontraksi awal kandung kemih selanjutnya akan mengaktifkan reseptor regang untuk menyebabkan peningkatan selanjutnya pada impuls sensorik ke kandung kemih dan uretra posterior, yang menimbulkan peningkatan refleks kontraksi kandung kemih lebih lanjut, jadi siklus ini berulang dan berulang lagi sampai kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat. Kemudian, setelah beberapa detik sampai lebih dari semenit, refleks yang menghilang sendiri ini mulai melemah dan siklus regeneratif dari refleks miksi ini berhenti, menyebabkan kandung kemih berelaksasi.
Jadi refleks berkemih adalah suatu siklus tunggal lengkap dari :
Peningkatan tekanan yang cepat dan progresif
Periode tekanan dipertahankan dan
Kembalinya tekanan ke tonus basal kandung kemih.
Sekali refleks berkemih terjadi tetapi tidak berhasil mengosongkan kandung kemih, elemen saraf dari refleks ini biasanya tetap dalam keadaan terinhibisi selama beberapa menit sampai satu jam atau lebih sebelum refleks berkemih lainnya terjadi. Karena kandung kemih menjadi semakin terisi, refleks berkemih menjadi semakin sering dan semakin kuat.
Sekali refleks berkemih menjadi cukup kuat, hal ini juga menimbulkan refleks lain, yang berjalan melalui nervus pudendal ke sfingter eksternus untuk menghambatnya. Jika inhibisi ini lebih kuat dalam otak daripada sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksterna, berkemih pun akan terjadi. Jika tidak, berkemih tidak akan terjadi sampai kandung kemih terisi lagi dan refleks berkemih menjadi makin kuat.
§ Perangsangan atau Penghambatan Berkemih oleh Otak
Refleks berkemih adalah refleks medula spinalis yang seluruhnya bersifat autonomik, tetapi dapat dihambat atau dirangsang oleh pusat dalam otak.
Pusat-pusat ini antara lain :
Pusat perangsang dan penghambat kuat dalam batang otak, terutama terletak di pons dan
Beberapa pusat yang terletak di korteks serebral yang terutama bekerja sebagai penghambat tetapi dapat juga menjadi perangsang.
Refleks berkemih merupakan dasar penyebab terjadinya berkemih, tetapi pusat yang lebih tinggi normalnya memegang peranan sebagai pengendali akhir dari berkemih seperti berikut :
Pusat yang lebih tinggi menjaga secara parsial penghambatan refleks berkemih kecuali jika persitiwa berkemih dikehendaki.
Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah berkemih, bahkan jika refleks berkemih timbul, dengan membuat kontraksi tonik terus menerus pada sfingter eksternus kandung kemih sampai mendapatkan waktu yang baik untuk berkemih.
Jika tiba waktu untuk berkemih, pusat kortikal dapat merangsang pusat berkemih sakral untuk membantu mencetuskan refleks berkeih dan dalam waktu bersamaam menghambat sfingter eksternus kandung kemih sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi.
Berkemih di bawah keinginan biasanya tercetus dengan cara berikut : Pertama, seseorang secara sadar mengkontraksikan otot-otot abdomennya, yang meningkatkan tekanan dalam kandung kemih dan mengakibatkan urin ekstra memasuki leher kandung kemih dan uretra posterior di bawah tekanan, sehingga meregangkan dindingnya. Hal ini menstimulasi reseptor regang, yang merangsang refleks berkemih dan menghambat sfingter eksternus uretra secara simultan. Biasanya, seluruh urin akan keluar, terkadang lebih dari 5 sampai 10 ml urin tertinggal di kandung kemih.
Pengkajian
§ Pola berkemih
Pada orang-orang untuk berkemih sangat individual
§ Frekuensi
Þ Frekuensi untuk berkemih tergantung kebiasaan dan kesempatan
Þ Banyak orang-orang berkemih kira-kira 70 % dari urine setiap hari pada waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada malam hari.
Þ Orang-orang biasanya berkemih : pertama kali pada waktu bangun tidur, sebelum tidur dan berkisar waktu makan.
§ Volume
Volume urine yang dikeluarkan sangat bervariasi.
Usia Jumlah / hari
·1 Hari pertama & kedua dari kehidupan 15 – 60 ml
·2 Hari ketiga – kesepuluh dari kehidupan 100 – 300 ml
·3 Hari kesepuluh – 2 bulan kehidupan 250 – 400 ml
·4 Dua bulan – 1 tahun kehidupan 400 – 500 ml
·5 1 – 3 tahun 500 – 600 ml
·6 3 – 5 tahun 600 – 700 ml
·7 5 – 8 tahun 700 – 1000 ml
·8 8 – 14 tahun 800 – 1400 ml
·9 14 tahun – dewasa 1500 ml
·10 Dewasa tua 1500 ml / kurang
Jika volume dibawah 500 ml atau diatas 300 ml dalam periode 24 jam pada orang dewasa, maka perlu lapor.
Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih
Diet dan intake
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urine, seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output urine lebih banyak.
Respon keinginan awal untuk berkemih
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk berkemih dan hanya pada akhir keinginan berkemih menjadi lebih kuat. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih. Masyarakat ini mempunyai kapasitas kandung kemih yang lebih daripada normal
Gaya hidup
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitive untuk keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
Tingkat aktifitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang dan dapat menjadi tidak berfungsi.
Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme tubuh.
Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus atau adanya lebih sering berkemih.
Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter)
Obat diuretiik dapat meningkatkan output urine
Analgetik dapat terjadi retensi urine.
Urine
Warna :
Þ Normal urine berwarna kekuning-kuningan
Þ Obat-obatan dapat mengubah warna urine seperti orange gelap
Þ Warna urine merah, kuning, coklat merupakan indikasi adanya penyakit.
Bau :
Þ Normal urine berbau aromatik yang memusingkan
Þ Bau yang merupakan indikasi adanya masalah seperti infeksi atau mencerna obat-obatan tertentu.
Berat jenis :
Þ Adalah berat atau derajat konsentrasi bahan (zat) dibandingkan dengan suatu volume yang sama dari yang lain seperti air yang disuling sebagai standar.
Þ Berat jenis air suling adalah 1, 009 ml
Þ Normal berat jenis : 1010 – 1025
Kejernihan :
Þ Normal urine terang dan transparan
Þ Urine dapat menjadi keruh karena ada mukus atau pus.
pH :
Þ Normal pH urine sedikit asam (4,5 – 7,5)
Þ Urine yang telah melewati temperatur ruangan untuk beberapa jam dapat menjadi alkali karena aktifitas bakteri
Þ Vegetarian urinennya sedikit alkali.
Protein :
Þ Normal : molekul-molekul protein yang besar seperti : albumin, fibrinogen, globulin, tidak tersaring melalui ginjal —- urine
Þ Pada keadaan kerusakan ginjal, molekul-molekul tersebut dapat tersaring —- urine
Þ Adanya protein didalam urine —- proteinuria, adanya albumin dalam urine —- albuminuria.
Darah :
Þ Darah dalam urine dapat tampak jelas atau dapat tidak tampak jelas.
Þ Adanya darah dalam urine — hematuria.
Glukosa :
Þ Normal : adanya sejumlah glukosa dalam urine tidak berarti bila hanya bersifat sementara, misalnya pada seseorang yang makan gula banyak —- menetap pada pasien DM
Þ Adanya gula dalam urine —- glukosa
Keton :
Þ Hasil oksidasi lemak yang berlebihan.
Masalah-masalah dalam Eliminasi
Masalah-masalahnya adalah : retensi, inkontinensia urine, enuresis, perubahan pola urine (frekuensi, keinginan (urgensi), poliurine dan urine suppression).
Penyebab umum masalah ini adalah :
Obstruksi
Pertumbuhan jaringan abnormal
Batu
Infeksi
Masalah-masalah lain.
§ Retensi
Þ Adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidak sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.
Þ Menyebabkan distensi kandung kemih
Þ Normal urine berada di kandung kemih 250 – 450 ml
Urine ini merangsang refleks untuk berkemih.
Dalam keadaan distensi, kandung kemih dapat menampung urine sebanyak 3000 – 4000 ml urine
o Tanda-tanda klinis retensi
Þ Ketidaknyamanan daerah pubis.
Þ Distensi kandung kemih
Þ Ketidak sanggupan unutk berkemih.
Þ Sering berkeih dalam kandung kemih yang sedikit (25 – 50 ml)
Þ Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikelurakan dengan intakenya.
Þ Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih.
o Penyebab
Þ Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
Þ Pembesaran kelenjar prostat
Þ Strikture urethra.
Þ Trauma sumsum tulang belakang.
§ Inkontinensi urine
Þ Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih
Þ Jika kandung kemih dikosongkan secara total selama inkontinensi —- inkontinensi komplit
Þ Jika kandung kemih tidak secara total dikosongkan selama inkontinensia —- inkontinensi sebagian
o Penyebab Inkontinensi
Þ Proses ketuaan
Þ Pembesaran kelenjar prostat
Þ Spasme kandung kemih
Þ Menurunnya kesadaran
Þ Menggunakan obat narkotik sedative
o Ada beberapa jenis inkontinensi yang dapat dibedakan :
§ Total inkontinensi
Adalah kelanjutan dan tidak dapat diprediksikan keluarnya urine. Penyebabnya biasanya adalah injury sfinter eksternal pada laki-laki, injury otot perinela atau adanya fistula antara kandung kemih dan vagina pada wanita dan kongenital atau kelainan neurologis.
§ Stress inkontinensi
Ketidaksanggupan mengontrol keluarnya urine pada waktu tekanan abdomen meningkat contohnya batuk, tertawa —– karena ketidaksanggupan sfingter eksternal menutup.
§ Urge inkontinensi
Terjadi pada waktu kebutuhan berkemih yang baik, tetapi tidak dapat ketoilet tepat pada waktunya. Disebabkan infeksi saluran kemih bagian bawah atau spasme kandung kemih.
§ Fungisonal inkontinensi
Adalah involunter yang tidak dapat diprediksi keluarnya urine. Biasa didefinisikan sebagai inkontinensi persists karena secara fisik dan mental mengalami gangguan atau beberapa faktor lingkungan dalam persiapan untuk buang air kecil di kamar mandi.
§ Refleks inkontinensi
Adalah involunter keluarnya urine yang diprediksi intervalnya ketika ada reaksi volume kandung kemih penuh. Klien tidak dapat merasakan pengosongan kandung kemihnya penuh.
§ Enuresis
Þ Sering terjadi pada anak-anak
Þ Umumnya terjadi pada malam hari — nocturnal enuresis
Þ Dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam.
o Penyebab Enuresis
Þ Kapasitas kandung kemih lebih besar dari normalnya
Þ Anak-anak yang tidurnya bersuara dan tanda-tanda dari indikasi dari keinginan berkemih tidak diketahui, yang mengakibatkan terlambatnya bagun tidur untuk kekamar mandi.
Þ Kandung kemih irritable dan seterusnya tidak dapat menampung urine dalam jumlah besar.
Þ Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah (misalnya persaingan dengan saudara kandung, ceksok dengan orang tua). Orang tua yang mempunyai pendapat bahwa anaknya akan mengatasi kebiasaannya tanpa dibantu untuk mendidiknya.
Þ Infeksi saluran kemih atau perubahan fisik atau neurologi sistem perkemihan.
Þ Makanan yang banyak mengandung garam dan mineral atau makanan pemedas
Þ Anak yang takut jalan pada gang gelap untuk kekamar mandi.
§ Perubahan pola berkemih
Þ Frekuensi
o Normal, meningkatnya frekuensi berkemih, karena meningkatnya cairan
o Frekuensi tinggi tanpa suatu tekanan intake cairan dapat diakibatkan karena cystitis
o Frekuensi tinggi pada orang stress dan orang hamil
o Canture / nokturia — meningkatnya frekuensi berkemih pada malam hari, tetapi ini tidak akibat meningkatnya intake cairan.
Þ Urgency
o Adalah perasaan seseorang untuk berkemih
o Sering seseorang tergesa-gesa ke toilet takut mengalami inkontinensi jika tidak berkemih
o Pada umumnya anak kecil masih buruk kemampuan mengontrol sfingter eksternal.
Þ Dysuria
o Adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih
o Dapat terjadi karena : striktura urethra, infeksi perkemihan, trauma pada kandung kemih dan urethra.
Þ Polyuria
o Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan
o Dapat terjadi karena : DM, defisiensi ADH, penyakit ginjal kronik
o Tanda-tanda lain adalah : polydipsi, dehidrasi dan hilangnya berat badan.
Þ Urinari suppresi
o Adalah berhenti mendadak produksi urine
o Secara normnal urine diproduksi oleh ginjal secara terus menerus pada kecepatan 60 – 120 ml/jam (720 – 1440 ml/hari) dewasa
o Keadaan dimana ginjal tidak memproduksi urine kurang dari 100 ml/hari disanuria
o Produksi urine abnormal dalam jumlah sedikit oleh ginjal disebut oliguria misalnya 100 – 500 ml/hari
o Penyebab anuria dan oliguria : penyakit ginjal, kegagalan jantung, luka bakar dan shock.
Diagnosa Keperawatan
Perubahan dalam eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine, inkontinensi dan enuresis
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya inkontinensi urine
Perubahan dalam rasa nyaman berhubungan dengan dysuria
Resiko infeksi berhubungan dengan retensi urine, pemasangan kateter
Perubahan konsep diri berhubungan dengan inkontinensi
Isolasi sosial berhubungan dengan inkontensi
Self care defisit : toileting jika klien inkontinesi
Potensial defisit volume cairan berhubungan dengan gangguan fungsi saluran urinary akibat proses penyakit
Gangguan body image berhubungan dengan pemasangan urinary diversi ostomy
Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterampilan pemasangan diversi urinary ostomy
Perencanaan & Intervensi
Tujuan :
Memberikan intake cairan secara tepat
Memastikan keseimbangan intake dan output cairan
Mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Mencegah kerusakan kulit
Mencegah infeksi saluran kemih
Memulihkan self esteem atau mencegah tekanan emosional
Untuk anak kecil meningkatkan kontrol berkemih dan self esteem.
Tindakan secara umum
Intake cairan secara tepat, pasien dengan masalah perkemihan yang sering intake jumlah cairan setiap hari ditentukan dokter. Pasien dengan infeksi perkemihan, cairannya sering ditingkatkan. Pasien dengan edema cairannya dibatasi.
Mengukur intake dan output cairan. Jumlah caiaran yang masuk dan keluar dalam setiap hari harus diukur, untuk mengetahui kesimbangan cairan.
Membantu mempertahankan secara normal berkemih.
Membantu pasien mempertahankan posisi normal untuk berkemih
Memberikan kebebasan untuk pasien
Memberikan bantuan pada saat pasien pertama kali merasa ingin buang air kecil
Jika menggunakan bedpan atau urinal yakin itu dalam keadaan hangat.
Bila pasien menggunakan bedpan, tinggikan bagian kepala tempat tidur dengan posisi fowler dan letakkan bantal kecil dibawah leher untuk meningkatkan support dan kenyamanan fisik (prosedur membantu memberi pispot/urinal)
Tuangkan air hangat dalam perineum
Mengalirkan air keran dalam jarak yang kedengaran pasien
Memberikan obat-obatan yang diperlukan untuk mengurangi nyeri dan membantu relaks otot
Letakkan secara hati-hati tekan kebawah diatas kandung kemih pada waktu berkemih
Menenangkan pasien dan menghilangkan sesuatu yang dapat menimbulkan kecemasan.
Tindakan hygienis
Untuk mempertahankan kebersihan di daerah genital
Tujuannya untuk memberikan rasa nyaman dan mencegah infeksi
Tindakan spesifik masalah-masalah perkemihan
Retensi urin
Membantu dalam mempertahankan pola berkemih secara normal
Jika tejadi pada post operasi —- berikan analgetik
Kateterisasi urin
Inkontinensi
Menetapkan rencana berkemih secara teratur dan menolong pasien mempertahankan itu
Mengatur intake cairan, khususnya sebelum pasien istirahat, mengurangi kebutuhan berkemih
Meningkatkan aktifitas fisik untuk meningkatkan tonus otot dan sirkulasi darah, selanjutnya menolong pasien mengontrol berkemih
Merasa yakin bahwa toilet dan bedpan dalam jangkauannya
Tindakan melindungi dengan menggunakan alas untuk mempertahankan laken agar tetap kering
Untuk pasien yang mengalami kelemahan kandung kemih pengeluaran manual dengan tekanan kandung kemih diperlukan untuk mengeluarkan urine
Untuk pasien pria yang dapat berjalan/berbaring ditempat tidur, inkontinensi tidak dikontrol dapat menggunakan kondom atau kateter penis.
Enuresis
Untuk enuresis yang kompleks, maka perlu dikaji komprehensif riwayat fisik dan psikologi, selain itu juga urinalisis (fisik, kimia atau pemeriksaan mikroskopis) untuk mengetahui penyebabnya.
Mencegah agar tidak terjadi konflik kedua orang tua dan anak-anaknya
Membatasi cairan sebelum tidur dan mengosongkan kandung kemih sebelum tidur / secara teratur.